Nusa Dua,ruangenergi.com-Energi fosil masih menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan energi nasional di masa depan. Oleh karena itu pemerintah berharap pelaku industry hulu migas melakukan inovasi dan memberikan masukan terkait usaha-usaha peningkatan produksi namun juga menekan ekomisi karbon yang dihasilkan, seperti halnya Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
Demikian dikatakan Haruni Kirisnawati, Staf Ahli Menteri Bidang Energi pada Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Kehutanan saat menjadi pembicara pada 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (ICIUOG) 2023, di Bali, Kamis (21/9).
Berdasarkan data KLHK tahun 2019, kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia adalah Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (Land Use Change and Forestry – LUCF) sebesar 50,13%, serta dari sektor energi sebesar 34,49%, utamanya dari pembangkit listrik.
Pemerintah mendukung penerapan teknologi CCS dan CCUS di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kebutuhan peningkatan produksi energi negara kita, sekaligus mengingat potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk mengimplementasikan teknologi CCS/CCUS. Terutama, lapangan-lapangan migas yang telah mencapai masa produksi puncak memiliki potensi penyimpanan CO2 sekitar 2,5 miliar ton CO2. Dukungan antara lain ditunjukkan dengan diterbitkannya Permen ESDM No 2 tahun 2023 yaitu Penyelenggaraan dan Penangkapan Karbon serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Aturan lain adalah regulasi dengan membuat Bursa Karbon yang rencanannya akan diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 26 September 2023
Bursa Karbon
Di Bursa Karbon, nantinya dimungkinkan dilakukan carbon trading, dimana karbon yang sudah ditangkap dan disimpan akan diperdagangkan. Untuk memantapkan rencana besar ini, menurut Haruni, berbagai kementerian, lembaga, dan periset kumpul bersama. Sebab, bukan hanya menangkap, menyimpan, dan menjual karbon, praktek ini juga harus mempertimbangkan dampaknya ke lingkungan dan masyarakat. “Penerapan CCS masih memiliki banyak ketidakpastian terutama mengenai biaya penangkapan dan kompresi CO2. Selain tantangan teknis dan Ekonomi juga ada hal-hal lain seperti HSE pada jangka panjang. Oleh karena itu diharapkan ada masukan dari para pelaku bisnis untuk mengantisipasi dampak yang mungkin muncul,” katanya.
Untuk mengantisipasi dampak jangka panjang tersebut, Haruni berharap agar implementasi kegiatan CCS oleh industry hulu migas diprioritaskan menggunakan kawasan hutan yang mengalami degradasi, dibanding kawasan hutan yang sehat. “Meskipun industri minyak dan gas merupakan pilar utama perekonomian, industri ini juga mempunyai tanggung jawab besar dalam mengurangi emisi karbon,” kata Haruni
TENTANG SKK MIGAS
SATUAN KERJA KHUSUS PELAKSANA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI (selanjutnya disebut “SKK MIGAS”), suatu satuan kerja khusus yang diberikan tugas oleh Pemerintah RI c.q. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan Peraturan Presiden No. 95/2012 jo. Peraturan Presiden No. 9/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 36/2018 jo. Peraturan MESDM No. 2/2022.
SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.