Penting! APNI Serukan Reformasi Industri Nikel

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyerukan langkah konkret pemerintah untuk menata ulang arah industri nikel nasional demi menjaga daya saing dan keberlanjutan investasi. Di tengah kondisi oversupply global dan tekanan harga yang tajam, APNI mengingatkan bahwa tanpa pengendalian produksi dan reformasi kebijakan hilirisasi, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus boom-bust yang merugikan semua pihak, termasuk investor.

Indonesia saat ini menyumbang lebih dari 50% pasokan nikel dunia. Namun, laporan terbaru dari lembaga riset internasional menunjukkan bahwa lonjakan produksi, khususnya dari jalur smelter RKEF dan HPAL, tidak diimbangi oleh pertumbuhan permintaan global—terutama dari sektor baterai kendaraan listrik dan stainless steel.

“Kita tidak bisa hanya menambah kapasitas tanpa peta jalan yang jelas soal daya serap pasar. Ini waktunya kontrol produksi dan hilirisasi berbasis permintaan, bukan volume,” tegas Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal APNI.

Menurut data dari FERROALOY, produksi Nickel Pig Iron (NPI) Indonesia terus melonjak, namun kontribusi Feronikel (FeNi)—produk bernilai tambah tinggi—masih sangat kecil. Hal ini mencerminkan dominasi strategi ekspansi kuantitatif tanpa evaluasi menyeluruh terhadap pasar global dan keekonomian proyek.

Investor Hadapi Tantangan Margin dan Regulasi

Dengan harga nikel yang terus melemah di bursa LME dan SMM, banyak pelaku usaha, termasuk smelter, kini beroperasi di bawah ambang kelayakan ekonomi. Margin menyempit, tekanan fiskal meningkat akibat kenaikan PPN dan royalti, sementara regulasi seperti RKAB tahunan dianggap belum cukup adaptif bagi keberlangsungan investasi jangka panjang.

Rekomendasi APNI: Peluang Penataan dan Investasi Berkualitas

APNI mendorong sejumlah rekomendasi kebijakan yang dapat membuka peluang investasi lebih sehat dan berkelanjutan:

  • Moratorium ekspansi smelter baru hingga tercapai keseimbangan pasar
  • Perpanjangan RKAB menjadi 3 tahun untuk stabilitas rencana investasi
  • Reformulasi HPM/HMA agar mencerminkan real cost dan dinamika pasar

Penyusunan peta jalan hilirisasi yang berbasis permintaan global

Pembentukan standar ESG nasional untuk meningkatkan akses pasar ekspor

Skema insentif dan diversifikasi pasar bagi proyek-proyek dengan nilai tambah tinggi dan komitmen berkelanjutan

“Dengan intervensi kebijakan yang tepat, Indonesia bisa keluar dari jebakan siklus boom-bust dan membangun industri nikel yang sehat, kompetitif, dan berorientasi masa depan,” tambah Meidy.

Mengundang Investasi Berkualitas

Langkah penataan ini bukan hanya soal pembatasan, tapi membuka ruang investasi yang lebih berkualitas—terutama di segmen hilir bernilai tambah tinggi, teknologi bersih, dan proyek dengan standar ESG global. Indonesia tetap menjadi pusat gravitasi industri nikel dunia. Namun kini, peluang terbaik ada pada strategi selektif dan berkelanjutan.