Jakarta Selatan, Jakarta, ruangenergi.com – Untuk mencapai ketahanan energi nasional yang berkelanjutan, regulasi yang komprehensif dan inklusif menjadi kunci utama. Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Menteri ESDM, M. Iksan.
Menurut Iksan, ketahanan energi tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang teknis atau ekonomi semata.
“Isu energi itu bukan hanya soal engineering atau ekonomi. Tapi juga soal lingkungan, pemberdayaan, sosial, politik, bahkan artificial intelligence (AI). Maka dari itu, regulasi yang disusun harus terintegrasi dan mendalam,” ujarnya saat ditemui Selasa (08/04/2025) di Jakarta.
Dia menekankan bahwa penyusunan regulasi seharusnya tidak hanya dibahas di internal Kementerian ESDM. Kementerian lain seperti Kehutanan, Perdagangan, Keuangan, bahkan aparat penegak hukum perlu dilibatkan. “Kita perlu regulasi yang menjawab kepentingan semua pihak—akademisi, pelaku industri besar, pengusaha kecil, hingga masyarakat luas,” tambahnya.
Iksan juga menyoroti pentingnya melibatkan asosiasi, media, institusi pendidikan, serta pelaku usaha dalam proses penyusunan regulasi agar dapat menggali data riil dari lapangan. “Bukan hanya data kuantitatif, tapi juga data kualitatif. Baru setelah itu kita bisa berdiskusi di level stakeholder, lakukan uji publik, dan hasilkan regulasi yang tepat guna,” jelasnya.
Salah satu poin mendesak, menurutnya, adalah perubahan Undang-Undang Migas yang saat ini masih menjadi hambatan utama. “Kita sudah punya fondasi kuat di UUD Pasal 33. Tapi turunan peraturannya, terutama UU Migas, perlu direvisi. Ini penting agar Permen, Kepmen, hingga Perda punya pijakan hukum yang lebih baik,” jelasnya.
Namun, sambil menunggu revisi UU tersebut, Iksan menekankan pentingnya memaksimalkan potensi yang ada. Salah satunya melalui penerapan teknologi tinggi di sektor hulu migas, seperti pengolahan minyak tak konvensional (unconventional oil).
“Teknologi hydraulic fracturing dan multistage hydraulic fracturing sudah terbukti di Amerika mampu meningkatkan produksi jutaan barel per hari. Di Indonesia, baru MEDCO dan IOG di Rokan yang mulai menerapkan. Padahal Amerika sudah jalan sejak 2010, kita ketinggalan 14 tahun,” ungkapnya.
Kendala terbesar, menurut Iksan, justru ada di sisi regulasi dan keberanian mengambil risiko. “Teman-teman BUMN masih takut gagal, takut disalahkan kalau proyek tidak berhasil. Padahal dari 100 program, kalau 1 besar berhasil, itu sudah luar biasa. Kegagalan pun tetap memberi data dan pengalaman berharga,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa ekosistem industri gas di Indonesia masih belum terbentuk secara ideal. Maka dari itu, selain reformasi regulasi, Iksan menilai percepatan izin dan peningkatan kualitas data migas juga penting untuk menarik minat investor.
“Kalau data kita makin matang, investor makin percaya diri. Dan soal perizinan, harus dipercepat. Banyak rencana pengembangan lapangan (POD) yang tertahan hanya karena izin,” katanya.
Saat ini, pemerintah juga telah membentuk Satgas Ketahanan Energi untuk memperkuat koordinasi lintas sektor. Salah satu Permen yang akan segera diterbitkan adalah aturan tentang penerapan teknologi pengolahan sumur tua, yang diharapkan dapat menjadi solusi jangka pendek sambil menunggu revisi UU Migas.