Perbaikan Radikal Fiskal Hulu Migas Diperlukan di Era Energi Transisi

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi- Dengan persaingan fiscal terms global saat ini, tuntutan Minimum Rate of Return (MARR) yang lebih tinggi di era energi transisi serta persaingan kapital di internal korporasi dengan proyek low carbon guna menuju net zero emmission (NZE), maka persepsi minimum split pemerintah 50% sebenarnya tidak relevan lagi.

Kalau dilihat dari sejarah awal PSC, dimana di era dulu, pajak efektif pernah mencapai 56%, kemudian turun 48%. Persepsi minimum 50% timbul karena besaran itu hanya dari porsi pajak. Dalam perjalanannya pajak effektif terus turun menjadi 44%, kemudian 40% dan beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) saat ini sekitar 37.6%, maka apabila bagi hasil pemerintah dibawah 50%, masih ada penerimaan bukan pajak.

Demikian paparan Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas Benny Lubiantara dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com, Senin (05/08/2024), di Jakarta.

Benny bercerita, sudah jalan semua itu, kecuali untuk PSC cost recovery, belum ada after tax split kontraktor lebih dari 50%.

“Sependek yang saya tahu tidak ada aturan mewajibkan minimum split pemerintah 50%, kemungkinan ini hanya karena kekhawatiran saja mengingat sebelumnya belum pernah ada preseden.Supaya win-win, kedepan sebaiknya dibuat sliding scale split berdasarkan indikator tertentu, misal tingkat produksi, etc.Misalnya: split pemerintah : split kkks, sliding scale sebagai berikut;

40% : 60% untuk produksi < 25 kboepd
50% : 50% untuk 25 – 75 kboped
60% : 40% untuk > 75 kboped

Ini sebagai ilustrasi saja untuk menjelaskan ide tersebut, angka bisa disesuaikan dan di simulasikan,”ungkap Benny.

Prinsipnya, lanjut Benny, pada saat awal dimana keekonomian masih minim, pemerintah bersedia memperoleh split lebih rendah, ketika keekonomian semakin membaik, bagian pemerintah juga meningkat secara otomatis sebagaimana tercantum dalam sliding scale tersebut.