Jakarta, Ruangenergi.com – Bahan Bakar Minyak (BBM) non Subsidi jenis Pertamax RON 92, sudah punya pangsa pasar khusus di negeri ini yakni para konsumen yang umumnya paham kelebihan keunggulan BBM RON tinggi seperti Pertamax 92 atau juga Pertamax Turbo RON 98.
Dengan demikian, menurut Direktur Pusat Kebijakan Publik (PUSKEPI), Sofyano Zakaria, publik tidak perlu khawatir para konsumen Pertamax 92 akan “berimigrasi” ke Pertalite akibat penyesuaian harga tersebut.
“Jadi penyesuaian harga Pertamax tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Pertalite. Apalagi para pengguna BBM RON Tinggi tergolong orang mampu yang butuh BBM berkualitas, sehingga jika ada yang lari ke Pertalite pada akhirnya mereka akan kembali lagi ke Pertamax 92 dan yang setara dengan itu,” kata Sofyano kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (02/4/2022).
Ia juga menegaskan, bahwa penyesuaian harga jual BBM Non Subsidi Pertamax 92 oleh Pertamina pada dasarnya tidak bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di negeri ini.
“Dalam hal ini tidak ada aturan yang dilanggar, ini yang harus dipahami oleh Publik,” kata pengamat energi ini.
Menurutnya, Badan Usaha swasta dan asing yang juga menjual BBM Non Subsidi outlet-outlet SPBU milik mereka, selama ini selalu menyesuaikan harga jual BBm Non Subsidinya bahkan pada level harga keekonomian yang jauh lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan badan usaha Pertamina Patra Niaga.
“Kenyataannya publik dan atau konsumen BBM di negeri ini sangat jarang atau bahkan tak pernah menyoroti dan mempermasalahannya,” pungkas Sofyano.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan juga senada dengan Sofyano bahwa penyesuaian harga Pertamax 92 tersebut tidak akan memicu terjadinya migrasi dari pengguna Pertamax menjadi pengguna Pertalite.
“Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, kenaikan jangan sampai menyentuh faktor psikologis konsumen, dimana angkanya adalah di atas Rp 15.000 per liter. Dengan kenaikan menjadi Rp 12.500 per liter, saya kira tidak akan mendorong migrasi secara besar-besaran ke pertalite,” tukas Mamit di Jakarta, Jumat.
“Hal ini dikarenakan pengguna pertamax ini segmented, golongan menengah ke atas yang paham akan pentingnya serta manfaat dari menggunakan bahan bakar dengan ron tinggi,” kata Mamit.
Pertamina Patra Niaga, kata Mamit, tidak perlu khawatir terjadi migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite. Menurut perkiraannya, migrasi ke Pertalite hanya diantara 20-25 persen saja.
“Migrasi ke Pertalite saya perkirakan diantara 20-25 persen saja, itupun akan terjadi di awal-awal kenaikan. Setelah itu, pola konsumsi akan kembali lagi dengan menggunakan Pertamax,” tuturnya.
Ia juga menilai bahwa langkah Pertamina Patra Niaga menyesuaikan harga BBM Non Subsidi Pertamax itu masih tetap mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, karena masih di bawah harga keekonomian.
“Sebab, jika mengikuti acuan harga minyak dunia saat ini, harga keekonomian Pertamax yang merupakan BBM dengan RON 92 itu bisa mencapai harga Rp 15.000 – Rp 16.000 per liter. Dalam hal ini Pertamina masih mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, sehingga harga BBM Pertamax RON 92 Non Subsidi hanya dinaikkan menjadi Rp 12.500 – 12.750 per liter saja,” papar Mamit.
“Saya sangat mengapresiasi langkah Pertamina dengan kenaikan harga Pertamax yang masih di bawah keekonomiannya ini sehingga sebenarnya Pertamina masih merugi meskipun ada kenaikan harga Pertamax seperti saat ini,” lanjut dia.(SF)