Perubahan Permen ESDM : Nilai Ekspor Listrik PLTS Atap Ditetapkan 100%, PLN Jadikan Electrifying Life Style dan REC sebagai antisipasi

Jakarta, ruangenergi.com- Dokumen yang diterima ruangenergi.com,pada Selasa(25/8/21) terkait urgensi perubahan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang Pemanfaatan PLTS Atap dimaksudkan untuk memperbaiki pelaksanaan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2019.

Hal-hal yang menjadi dasar dan urgensi perlunya dilakukan perubahan pada peraturan ini diantaranya: jumlah penambahan kapasitas PLTS Atap belum sesuai dengan target yang diharapkan;
adanya pengaduan masyarakat terkait waktu pelayanan PLTS Atap yang tidak sesuai dengan Permen ESDM yang ada (perbedaan harga dan standar kWh meter expor-impor); adanya gap informasi terkait PLTS Atap (pemahaman terhadap regulasi dan waktu layanan PLTS Atap) diantara PT PLN (Persero) di lapangan; dan masukan dari stakeholder untuk meningkatkan keekonomian PLTS Atap (ketentuan ekspor listrik belum menarik bagi calon konsumen PLTS Atap dan jangka waktu akumulasi selisih ekspor-impor energi listrik).

Sebagai upaya merespon dinamika yang ada sekaligus memfasilitasi keiinginan masyarakat yang menginginkan untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan dan berkeinginan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca serta mendorong pengembangan PLTS Atap sebagai bagian mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025, Kementerian ESDM menginisiasi perubahan dan merancang Permen ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (Pemanfaatan PLTS Atap).

Beberapa substansi pokok dari Permen ESDM Pemanfaatan PLTS Atap, antara lain yaitu:perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang Wilayah Usaha); ketentuan ekspor listrik ditingkatkan dari 65% menjadi 100%; kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan; jangka waktu permohonan PLTS Atap menjadi lebih singkat (5 hari tanpa penyesuaian

Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL); mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap; dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap; dan
Tersedianya Pusat Pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Umum (IUPTLU).

“Pertimbangan kebijakan memutuskan nilai energi listrik yang diekspor oleh pelanggan PLTS Atap menjadi sebesar 100% nilai kWh Ekspor yang tercatat pada Meter kWh Ekspor-Impor dari semula hanya 65%, merupakan pemberian insentif yang lebih baik kepada masyarakat yang memasang PLTS Atap. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan energi terbarukan dan penurunan gas rumah kaca sebagaimana komitmen Presiden RI pada Paris Agreement”

Dalam dokumen dikatakan, berdasarkan laporan pelaksanaan PLTS Atap yang diterima dari PT PLN (Persero) dan pelaksanaan survei yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, energi listrik yang diekspor ke PLN oleh pelanggan PLTS Atap sektor rumah tangga hanya sebesar 24-26% dan untuk sektor industri sebesar 5-10% dari jumlah energi yang diproduksi oleh PLTS Atap.

Nilai ekspor listrik tidak pernah mencapai 100% disebabkan karena produksi listrik dari PLTS Atap akan digunakan terlebih dahulu oleh pelanggan PLTS Atap, dan bila ada kelebihan produksi listriknya baru di ekspor ke PLN.

Permen ESDM tentang Pemanfaatan PLTS Atap melarang pelanggan PLTS Atap memperjualbelikan tenaga listrik yang dihasilkan dari sistem PLTS Atap.

Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW pada tahun 2024/2025, memperkirakan hanya sekitar kurang lebih 1 juta pelanggan PLN yang memasang PLTS Atap dari total pelanggan PLN sebesar 78,6 juta pelanggan, atau hanya sekitar 1,3%.

Kajian yang dilakukan oleh Kementerian ESDM untuk pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GW hingga tahun 2024/2025 dengan nilai kWh ekspor sebesar 100% terhadap negara, akan berdampak positif pada hal-hal sebagai berikut: konsumsi batubara dapat berkurang sebesar 2,98 juta ton pertahun, dan pengurangan tersebut bisa menjadi tambahan ekspor; berpotensi menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang; berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp 45 – 63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04 – 4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor-impor;
mendorong green product sektor jasa dan industri; dan berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,58 juta ton CO2e.

Pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GW tersebut diperkirakan akan mengurangi pendapatan PT PLN (Persero) karena pelanggan PLTS Atap tidak lagi menggunakan listrik PLN 100%. Kajian yang dilakukan menunjukan bahwa terdapat potensi berkurangnya pendapatan PLN sebesar Rp 5,7 triliun/tahun yang terdiri dari 4,9 triliun/tahun adalah merupakan potensi kehilangan pendapatan PLN akibat adanya perubahan pemenuhan listrik pelanggan (± 4,58 GWh) – customer behavior, dan sebesar Rp 0,86 triliun/tahun merupakan potensi kerugian PLN akibat ekspor listrik PLTS Atap ke grid.

Namun, apabila memperhatikan biaya pemeliharaan yang harus ditanggung oleh PT PLN (Persero) dan komponen lainnya yang masuk dalam non-fuel cost (data BPP pembangkit PLN 2020) dimana persentasenya adalah 31% dari total pembentuk Biaya Pokok Penyediaan (BPP)
pembangkitan, maka kerugian real PLN hanya sebesar Rp 0,27 T. Adapun sisanya sebesar Rp 0,59 T adalah potensi kerugian apabila PLN tidak bisa menjual listrik tersebut kepada pelanggan lain.

Berkaitan dengan dampak pengembangan PLTS Atap terhadap keuangan negara, dua kajian yang dilakukan Kementerian ESDM menunjukan bahwa apabila perhitungannya menggunakan BPP unit cost bahan bakar dengan berkurangnya pemakaian bahan bakar dari batubara dengan data APBN 2020 perubahan ke-2, menunjukan adanya penurunan terhadap subsidi dan kompensasi (Kajian 1).

Sedangkan dalam Kajian 2, dengan menggunakan PMK 170/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik dan PMK 174/PMK.05/2019 tentang Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik, hasil menunjukan bahwa BPP mengalami kenaikan sebesar 1,14 Rp/kWh (0,08%), subsidi naik Rp 0,07 T (0,13%), dan kompensasi naik Rp 0,23 T (0,91%) dibandingkan dengan nilai kWh ekspor PLTS Atap sebesar 65%.

Meskipun dalam perhitungan tersebut total subsidi yang harus disiapkan oleh Pemerintah adalah sebesar Rp 54,57 T, namun total yang akan dibayar oleh Pemerintah adalah Rp 54,34 T. Hal ini diakibatkan adanya pengurangan energi listrik yang dikonsumsi oleh pelanggan PLTS Atap, yang nilai penghematannya sebesar Rp 0,23 T.

Dengan semakin massifnya pemanfaatan PLTS Atap, PT PLN (Persero) dapat melakukan pengelolaan di sisi supply antara lain dengan melakukan pengaturan pola jam operasi pembangkit termal dan hydro; menyediakan reserve margin yang cukup, menyiapkan pembangkit load follower, dan baterai/storage untuk mengimbangi intermitensi PLTS Atap; melakukan pemantauan dan evaluasi produksi energi listrik dari PLTS Atap; digitalisasi pembangkit, digitalisasi dispatch, digitalisasi transmisi, dan distribusi, serta smart meter sehingga dapat mengelola fluktuasi daya dari PLTS Atap dengan lebih baik.

“Di sisi demand, berbagai pengelolaan yang dapat dilakukan antara lain penyediaan sistem billing tagihan pemakaian listrik untuk mengakomodasi konsumen menggunakan PLTS Atap; melakukan demand creation dengan program-program seperti electrifying lifestyle (migrasi ke kompor induksi, kendaraan listrik, smart home) dan electrifying agriculture (migrasi dari mesin bakar ke mesin listrik) serta gencar melakukan akuisisi pembangkit captive di pabrik-pabrik”

Peluang perluasan bisnis juga dapat dilakukan untuk mampu menekan kerugian yang dialami, seperti:menyediakan jasa pemasangan dan pemeliharaan PLTS Atap dengan cicilan yang bundled dengan pembayaran tarif listrik kepada pelanggan;
menawarkan listrik PLTS Atap kepada industri/komersial secara kontrak dengan tarif khusus untuk periode waktu tertentu;
listrik dari PLTS Atap dijadikan bagian dari Renewable Energy Certificate (REC) atau tarif layanan khusus EBT yang ditawarkan kepada semua pelanggan, termasuk pemilik PLTU/PLTG/PLTGU; menjual nilai karbon dari pelanggan PLTS Atap selain pelanggan kategori industri dan bisnis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *