Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahean, mengatakan, dirinya melihat permasalah yang sedang hangat-hangatnya di PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) tentang kewajiban membayar pajak sebesar Rp 3,6 Triliun atas putusan Mahkamah Agung (MA) adalah putusan yang sah.
Menurutnya, sebagai BUMN seharusnya PGN melakukan pemungutan pajak PPN sebesar 10% atas penjualan gas kepada konsumen, akan tetapi PGN tidak melakukan pemungutan pajak tersebut, dan hal itu kini menjadi beban bagi PGN.
“Besar sekali pajak tersebut atas penjualan gas yang dilakukan PGN. Harusnya BUMN ini kan wajib pungut, tetapi karena sesuatu dan lain hal, maka PPN pajak hasil penjualan tersebut tidak dipungut, karena untuk menjaga persaingan harga, dan sekarang ini menjadi beban bagi PGN,” jelas Ferdiand dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Ruang Energi bersama Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), (04/03).
Ia menjelaskan, informasi yang beredar karena permasalahan harga. Karena harga gas PGN cenderung di patok oleh pemerintah supaya tidak terlalu mahal, dan supaya industri dapat menikmati harga gas yang murah.
“Ketika harga gas menjadi mahal, ini membuat PGN berfikir keras bagaimana menjual gas dengan harga yang kompetitif,” imbuhnya.
“Ada ungkapan (Banyak Jalan Menuju Roma), akan tetapi nampaknya jalan yang dipilih PGN kali ini salah, dan akhirnya harus menuai keputusan dari MA yang membebankan PGN untuk membayar pajak tersebut,” sambung Ferdinand.
Dirinya melihat, sesuai tema diskusi “Salah Apa PGN” harus mencari jawabannya dan bagaimana PGN ini harus ditempatkan sebagai BUMN yang juga mempunyai beban kewajiban untuk melaksanakan program wajib dari Pemerintah yaitu membangun Jaringan Gas (Jargas).
“Ini sesuatu yang tidak ringan, membangun Jargas untuk rumah tangga sementara perusahaan saat ini kini tengah dililit hutang. Di sisi lain pendapatan PGN tidak mampu menopang bisnis-bisnis menjadi lancar dan berjalan sesuai ekspektasi dan sesuai harapan para pemangku kekuasaan,” paparnya.
Ia menambahkan, disinilah polemik menjadi besar, polemik menjadi saling meninju, dan polemik menjadi saling menghantam di internal PGN. Karena memang tidak ada solusi, kecuali solusi satu-satunya menurut Ferdinand adalah uang.
“Nah, uang inilah yang menjadi masalah pokok. Kita melihat sekarang PGN terbeban berat dengan putusan MA. Jika kita lihat secara hukum Undang-Undang Pajak dan keputusan yang dikeluarkan oleh MA itu sudah benar dan tepat. Akan tetapi dari sisi bisnis PGN apakah ini sudah tepat dan ini menjadi sebuah pertanyaan besar,” bebernya.
Ia berharap peran dari Jajaran Direksi PGN untuk segera mencari dan menemukan solusi.
Ferdinand menegaskan, jangan berfikir ini merupakan masalah yang ditingkalkan oleh direksi sebelumnya, sehingga direksi sekarang tidak menyikapinya dengan mencari solusi.
Sebagaimana diketahui bahwa PGN sangat rajin dalam melakukan pergantian direksinya.
“Untuk itu, saya minta kepada direksi yang sekarang untuk mencari solusi untuk menyelesaikan kewajiban membayar pajak tersebut. Saya melihat dari sisi hukumnya tidak ada jalan lain yang bisa dicari oleh PGN untuk mencari celah hukum terhadap masalah ini,” katanya.
Ia menyarankan kepada Direksi PGN, secara administrasi berbicara dengan Pemerintah (Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN) dan dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), karena hal ini harus pengesahan dari DPR juga.
“Bagaimana denda sebesar Rp 3,6 T ini diakui dan menjadi kewajiban, tetapi dapat dikonversi menjadi PMN (Penyertaan Modal Negara),” jelasnya.
Sebab, sebelumnya, hal serupa juga pernah terjadi di PT PLN (Persero). Di mana waktu itu PLN melakukan reevaluasi karena pajaknya sekitar lebih kurang Rp 16 Triliun.
“Kala itu PLN dikonversi pajaknya menjadi PMN oleh pemerintah, sehingga pajak dari peningkatan asset tidak perlu dibayarkan ke pemerintah tetapi dikonversi menjadi PMN. Ini bisa menjadi solusi bagi PGN untuk keluar dari masalah membayar kewajiban Rp 3,6 T. Karena saya yakin kalau PGN mencari uang sendiri untuk membayar kewajiban tersebut ulit sekali,” saran Ferdinand.
Akan tetapi, katanya, konsekuensinya karena saham di PGN tidak 100% milik negara, hal itu ada hitung-hitungan juga terhadap saham-saham yang ada didalamnya oleh Pemerintah.
“Jalan terbaik menurut saya adalah melobi pemerintah untuk di konversi menjadi PMN ke depan, karena tanpa itu PGN akan kesulitan. Selain itu, agar ada jalan keluar dari masalah ini diperlukan evaluasi secara menyeluruh di tubuh PGN,” ungkapnya kembali.
Menanti Gebrakan Komisaris Utama PGN
Selain itu, dirinya juga menyoroti kinerja Komisari Utama PGN (Arcandra Tahar), lantaran belum melihat suatu gebrakan yang dilakukannya dalam meningkatkan kinerja PGN.
“Beliau ini (Komut PGN) saya belum dengar melakukan sesuatu upaya sebagai Komut PGN untuk membawa perubahan kearah yang lebih baik. Saya melihat Komut PGN cenderung duduk dan menikmati fasilitas jabatan tetapi tidak bekerja sebagaimana seharusnya. Saya juga berharap Arcandra Tahar sebagai Komut PGN melakukan upaya-upaya kepada Direksi PGN saat ini untuk keluar dari masalah-masalah yang tengah mendera perusahaan, dan membawa PGN yang mempu menghasilkan sesuatu bagi negara,” bebernya.
Lebih jauh, Ferdinand menjelaskan, dirinya sangat berharap PGN dapat sukses menjalankan tugas dari pemerintah yakni membangun Jargas untuk masyarakat.
“Kita sangat berharap bagaimana PGN bisa sukses membangun Jargas Rumah Tangga, karena ini menjadi sesuatu yang sangat murah bagi masyarakat ke depan,” tandasnya.