PLN Sebut Kontribusi Perseroan Terhadap TKDN Sangat Besar

Jakarta, Ruangenergi.com – EVP Perencanaan dan Enjineering Konstruksi PT PLN (Persero), Anang Yahmadi mengatakan, bahwa kontribusi PLN sangat besar terhadap tingkat komponen dalam negeri (TKDN) terutama dari sisi jumlah angka, meskipun dari jumlah presentase  masih di bawah 50 persen.

Menurutnya, hingga saat ini PLN sudah mendukung TKDN dengan nilai Rp 37 trillun dari angka Rp 78 trilliun. Hal ini menunjukan kontribusi PLN sangat besar terhadap TKDN .

“Pembangkit memang masih jauh di belakang, karena kita tahu bahwa teknologi pembangkit memang sangat sulit kita kejar dan masih banyak kita impor. Ini tantangan yang terus kita upayakan supaya bisa melakukan peningkatan,” kata Anang dalam  Webinar bertema Kemandirian industri dan EBT, yang digelar Ruangenergi.com secara virtual, Rabu (29/12/2021).

Anang mengakui, saat ini pengadaan lebih banyak dilakukan IPP daripada PLN. Namun  pihaknya mendukung kebijakan seperti tingkat TKDN sesuai kebijakan pemerintah. Tapi jangan sampai mempersulit dan menyebabkan lelang menjadi gagal.

“PLN berkomitmen dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan mengutamakan TKDN sesuai dengan regulasi. Sekali lagi, perlu upaya bersama untuk mewujudkan kemandirian bangsa dengan pemberdayaan industri lokal/TKDN dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT),” paparnya.

Lebih jauh ia mengatakan, salah satu permasalahan TKDN adalah harga produk lokal yang masih kurang bersaing jika dibandingkan dengan produk impor.

“Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan butuh pengembangan agar bersaing dengan produk impor. Dan ini butuh sinergitas antar kementerian, lembaga dan berbagai pihak lainnya,” kata Anang

Ia menambahkan, PLN selalu menggunakan TKDN sebagai key indicator sehingga dapat meningkatan produk jasa dalam negeri dan tenaga kerja lokal.

“Dalam sepuluh tahun ke depan, EBT akan lebih besar porsinya daripada non-EBT. Dan itu tidak terbatas hanya pada PLTS saja, namun juga ada PLTA dan PLTN,” ujarnya.

“Saat ini PLTA dan PLTN masih menjadi yang terbesar, baru setelah itu PLTS. Sedangkan dari sisi kebijakan, PLN konsen dengan EBT. Misalnya PLTS, PLN sudah memiliki program sebesar 4.600 MW yang terbagi dalam setiap tahun,” tutup Anang.

Sementara Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengungkapkan,
ada beberapa permasalahan menuju transisi energi fosil menuju energi ramah lingkungan.

“Pertama, pembangkit yang dimiliki saat ini didominasi oleh pembangkit fosil. Selain itu, untuk mengubah dari pemangkit fosil menjadi pembangkit EBT membutuhkan biaya yang besar,” katanya.

Ia juga menambahkan, bahwa akses masyarakat untuk mendapatkan energi juga belum semua tercover, harga perangkat EBT belum kompetitif, proses perijinan yang panjang dan rumit, hingga komponen panel surya yang masih banyak bergantung dari impor.

“Untuk mengatasi gempuran barang-barang impor, pemerintah memberlakukan persyaratan TKDN pada setiap proyek yang dikerjakan PLN maupun Pertamina,” ujarnya.

TKDN tersebut, lanjut dia, berdampak pada kemandirian energi dengan tidak mengandalkan kepada barang impor. Hampir semua negara memberlakukan TKDN untuk melindungi industri dalam negeri sekaligus mewujudukan kemandirian energi.

“Jangan hanya menjadi importir sehingga pada saat pasokan terbatas, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Disitulah sangat dibuthkan kemandiran energi. Kalau semua impor, kita tidak bisa mandiri,” tukasnya.

“Di sini pentingnya industri dalam negeri untuk berperan serta dalam kapasitas pengembangan EBT. Tumbuhnya industri dalam negeri bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang akhirnya meningkatkan ekonomi daerah,” tutup Mamit.(SF)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *