Posisi Indonesia Menjadi Sulit

Jakarta,ruangenergi.com-Berhentinya kontrak gas adalah bagian yang sudah harus terjadi, namun dulu selalu pembeli seperti Singapura selalu minta memperpanjang kontrak, tapi kini dengan harga gas dari negara lain seperti Qatar sudah sangat murah, maka Singapura memiliki receiving facilities sehingga bisa membeli gas melalui LNG tanpa pipa, sehingga posisi Indonesia menjadi sulit.

Pendapat ini dikemukakan praktisi migas nasional Rudi Rubiandi ketika dia ditanyakan tanggapan atas rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tidak memperpanjang kontrak ekspor gas ke Singapura, dari lapangan gas di Natuna yang akan berakhir pada 2023. Termasuk kontrak ekspor gas dari lapangan gas yang dikelola Medco Natuna, Premier Oil dan Star Energy ke SembCorp Gas (SembGas) dari Blok B Natuna yang kontrak akan berakhir tahun 2028.

“Di satu sisi, memang secara bisnis, berhentinya kontrak gas adalah bagian yang sudah harus terjadi, namun dulu selalu pembeli seperti Singapura selalu minta memperpanjang kontrak, tapi kini dengan harga gas dari negara lain seperti Qatar sudah sangat murah, maka Singapura memiliki receiving facilities sehingga bisa membeli gas melalui LNG tanpa pipa, sehingga posisi Indonesia menjadi sulit. Di sisi lain berarti untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri ,menjadi sangat terbuka, tetapi masalah infrastruktur yang masih belum tersambung antara produser dengan konsumer akan menjadi kendala yang saat ini ada di Indonesia,”kata Rudi Rubiandi dalam webinar bertajuk  “Edukasi Jurnalis Media Massa Nasional. Operasional dan Tantangan Industri Hulu Migas”, yang diselenggarakan oleh SKK Migas pada Kamis (08/07/2021) di Jakarta..

Dalam catatan ruangenergi.com,Presiden Republik Indonesia Joko Widodo selaku Ketua Dewan Energi Nasional, memimpin Rapat Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN), Selasa (20/4/2021).

Salah satu hasilnya adalah rencana Pemerintah untuk tidak lagi mengimpor bahan bakar minyak (BBM) dan LPG pada tahun 2030 mendatang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden memaparkan, dalam rapat tersebut, DEN menyampaikan beberapa isu, antara lain meningkatnya permintaan energi untuk jangka panjang dan terbatasnya pasokan sumber daya dalam negeri. Hingga saat ini, Indonesia masih mengimpor BBM dan LPG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Masih adanya kita impor BBM dan LPG yang memang dalam strategi nasional, tahun 2030 kita rencanakan tidak lagi mengimpor BBM dan diupayakan tidak lagi impor LPG,” tutur Arifin pada Selasa (20/4/2021).

Rapat tersebut juga membahas penyelesaian pembangunan infrastruktur energi seperti migas dan kelistrikan. Program BBM Satu Harga diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat dan membangkitkan ekonomi kerakyatan di daerah-daerah tersebut.

Target pengurangan emisi dengan mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi baru terbarukan (EBT) sebagai bauran energi nasional untuk mengurangi emisi, juga menjadi bahasan pertemuan ini. Untuk itu, akan dibuat suatu rencana di mana pada tahun 2025 mendatang pemanfaatan energi baru terbarukan akan mencapai 24 ribu megawatt. Sementara pada tahun 2035, pemanfaatan tersebut akan ditingkatkan menjadi 38 ribu megawatt.

Dalam Sidang Paripurna DEN tersebut, Presiden Joko Widodo juga memberi arahan agar DEN dapat melihat momentum dan mengambil kesempatan di tengah pandemi ini untuk dapat maju ke arah ekonomi hijau. Saat ini, semua negara maju sudah menuju arah ekonomi hijau demi mengurangi kerusakan lingkungan.

“Diharapkan bahwa strategi yang disusun nanti harus berorientasi visioner dan implementasinya harus secara konsisten dilaksanakan,” pungkas Arifin waktu itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *