Jakarta, Ruangenergi.com – Indonesia memiliki pekerjaan rumah di sektor migas yang harus diselesaikan bersama. Untuk itu, semua lapisan masyarakat diminta untuk mendukung apa yang tengah direncanakan pemerintah dalam jangka Panjang.
Salah satu pekerjaan rumah itu adalah mendukung target dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Satuan itu telah memiliki target produksi minyak sebesar 1 Juta Barel Oil Per Hari (BOPD) dan produksi gas bumi sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) di 2030 mendatang.
Dalam webinar Edukasi Media Lomba Karya Jurnalistik, dengan tema “Upaya Industri Hulu Migas Menggapai 1 Juta BOPD & 12 BSCFD”, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, mengatakan, kegiatan ini sangat penting karena industri hulu migas sedang melakukan sebuah pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga, pemikiran dan dana dalam menggapai target produksi migas nasional.
“Namun, tidak semua masalah mendapatkan gambaran atas usaha yang sedang dilakukan industri hulu migas. Di satu sisi target 1 Juta BOPD & 12 BSCFD sangat membutuhkan dukungan dari semua lapisan masyarakat agar kegiatan yang dilakukan dilapangan dapat berjalan dengan lancar dan efektif,” terang Dwi secara virtual, Rabu, (28/04).
Dwi menambahkan, Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tercepat di dunia, dan menurut proyeksi Konsultan International, Indonesia diproyeksi akan menjadi negara ekonomi nomor 4 di dunia pada tahun 2030.
Guna mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut, sangat diperlukan adanya kecukupan energi yang akan terus tumbuh dari tahun ke tahun.
Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia telah menyelesaikan Perpres nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Di mana dalam perpres tersebut, pemerintah telah menetapkan kerangka nasional terkait roadmap energi di Indonesia, di mana bauran energi dari sektor migas diproyeksikan menurun 50% pada 2020 menjadi 44% pada tahun 2050.
“Sebagai negara yang turut menandatangani Perjanjian Paris (pada 2015 lalu), Indonesia berupaya untuk meningkatkan peran Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi,” jelas Dwi yang pernah duduk sebagai Direktur Utama Pertamina tempo hari, tepatnya 28 November 2014.
Meningkat Penggunaan Gas
Dwi mengatakan, meski secara persentasi penggunaan migas akan mengalami penurunan, akan tetapi penggunaan gas dalam energi secara volume akan meningkat. Pasalnya saat ini produksi gas bumi sekitar 6.748 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan pada 2050 diperkirakan akan meningkat 298%.
“Kebutuhan sektor energi, diketahui bahwa migas sudah digunakan memenuhi kebutuhan feed stock bagi pembangunan sektor industri kita. Tanpa kecukupan energi dan bahan baku tersebut, maka pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan secara beriringan. Pasalnya Indonesia akan sulit menjadi negara maju sebagaimana yang telah dicita-citakan,” tukasnya.
Menurut Dwi, pemenuhan upaya tersebut merupakan tantangan yang tidak mudah, mengingat produksi minyak di Indonesia telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dan telah lama sejak Indonesia menemukan giant discovery. Hal ini cukup mempengaruhi tingkat kepercayaan investor untuk berinvestasi di sisi hulu migas Indonesia.
Selain itu, neraca perdagangan migas juga mengalami defisit, lagi-lagi hal ini sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional tersebut yakni produksi migas harus bangkit atau lebih digenjot.
“Sebagai upaya peningkatakan kapasitas hulu migas, target 1 juta BOEPD dan 12 BSCFD pada 2030 mendatang sangat penting untuk meningkatkan produksi migas nasional. Pasalnya, dalam sejarah industri migas di Indonesia, pemerintah berhasil mencatat produksi sebesar 3,2 juta barel oil ekuivalen per hari (BOEPD), sehingga diperlukan kolaborasi dari seluruh pelaku usaha,” ungkap Dwi.
Di mata Doktor Dwi Soetjipto, Indonesia masih memiliki 128 cekungan migas, namun baru sekitar 20 cekungan sudah produksi dan 27 cekungan lainnya sudah ada temuan tetapi belum di produksi, kemudian 13 cekungan belum ada temuan dan sebanyak 68 cekungan belum dilakukan eksplorasi.
“Potensi masih sangat besar, namun perlu disadari bahwa industri migas adalah industri yang membutuhkan investasi yang besar, risiko yang tinggi dan persaingan antar negara terus yang semakin meningkat,” ungkap Dwi yang juga menjadi dosen tamu di Program Studi Sarjana Manajemen Bisnis ITS dan mengampu mata kuliah Manajemen Strategis.
Pekerjaan Rumah
Guna menggapai PR besar tersebut, industri hulu migas pada Juni 2020 lalu, telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) dengan tiga target utama yakni, Produksi 1 juta BOPD dan 12 BSCFD pada 2030. Selanjutnya, mengoptimalkan peningkatan nilai tambah dan kegiatan hulu migas, serta memastikan keberlanjutan lingkungan.
“Tujuan dari Renstra ini tidak hanya peningkatan migas saja, melainkan sektor hulu migas ini dapat berperan sebagai motor penggerak dan memberikan multiplier effect bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia dan juga memastikan keberlanjutan lingkungan,” beber Dwi.
Sebagaimana diketahui, Renstra ini terdiri dari 10 pilar sebagai kerangka kerja strategis, 22 program kunci untuk menjalankan program dan 80 target untuk memonitor perkembangan, serta lebih dari 200 action plan (rencana aksi) untuk menjalankan program.
Dwi mengatakan, empat (4) pilar utama dalam menjalankan Renstra tersebut adalah mengoptimalkan tingkat eksisting, percepatan dari riset menjadi produksi, percepatan pelaksanaan Enhanched Oil Recovery (EOR), dan ekplorasi untuk penemuan besar (road to giant discovery).
“Dari empat pilar tersebut telah disusun rencana yang bottom up dan telah disosialisasikan dan disepakati oleh seluruh KKKS yang berinvestasi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah telah menargetkan ketersediaan ini diharapkan bisa tuntas di akhir 2024,” urainya.
Ia memperkirakan industri hulu migas Indonesia membutuhkan investasi dengan total US$ 187 Miliar dengan total ditambah revenue sebesar US$ 371 miliar, dengan proyeksi pendapatan negara sekitar US$ 131 miliar.
“Besarnya multiplier effect dari terlaksananya misi ini tidak hanya dari proyeksi pendapatan negara, namun juga investasi yang masuk akan menimbulkan pertumbuhkan ekonomi nasional maupun regional,” tandasnya.