Praktisi Hukum Migas: BUMD ataupun Anak Usaha BUMN, Bukan Termasuk Kerugian Negara Jika Modal Bukan Dari Negara

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Melihat adanya dugaan tindak pidana korupsi di Sumatera Selatan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel, saat ini tengah melakukan pemeriksaan atas dugaan korupsi dan mencari aktor kasus dugaan korupsi Pembelian Gas Bumi oleh Perusahaan Daerah (PD) Pertambangan Dan Energi (PDE) Sumatera Selatan.

Berdasarkan data yang dimiliki, kasus ini berawal dari Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) bagian negara antara KKKS Pertamina Hulu Energi (PHE), Talisman dan Pacific Oil dengan Pemprov Sumsel.

Hak jual ini adalah dengan Participacing Interest PHE 50%, Talisman 25%, dan Pacific Oil 25% yang di berikan dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Pemprov Sumsel.

Praktiknya, bukan Pemprov Sumsel yang menikmati hasilnya, tapi PT. PDPDE Gas (Rekanan) yang diduga menerima keuntungan yang fantastis selama 2011-2019.

Di mana, PDPDE Sumsel selaku wakil Pemprov Sumsel hanya menerima total pendapatan kurang lebih Rp38 miliar dan dipotong utang saham Rp8 miliar. Bersihnya kurang lebih Rp30 miliar selama 9 tahun.

Sebaliknya, PT PDPDE Gas juga mendapatkan banyak keuntungan dari penjualan gas bagian negara tersebut. Diduga selama kurun waktu 8 tahun, pendapatan kotor sekitar Rp977 miliar. Dipotong biaya operasional, bersihnya kurang lebih Rp711 miliar.

Jelang penetapan tersangka dugaan korupsi di PDPDE, sejumlah alat bukti dipertajam oleh Kejaksaan Agung satu diantaranya penajaman proses terbentuknya usaha patungan, PDPDE Gas antara Perusahaan Daerah Pertambangan Dan Energi (PDPDE) Sumsel dengan PT. DKLN milik Muddai Maddang, 2009 Kejagung juga telah memeriksa beberapa saksi seperti Legal PT Mitra Energi Buana yakni ‘SA’ terkait dibentuknya usaha patungan PDPDE Gas pada Selasa (15/06/2021) lalu.

Sementara itu Ketua Umum Komunitas Pensiunan Pertamina (KP-2) yang pernah menjabat kepala Bpmigas sumbagut dan saat ini sebagai Praktisi hukum (advokat) Luluk Harijanto, ketika diminta pendapat atas peristiwa ini, berpendapat bahwa hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP (Badan Pengawas Keuangan Pembangunan) terkadang mengarah pada audit adanya perbuatan “melawan hukum” yang bukan merupakan “zona kewenangannya”.

Menurutnya, kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam “zona accounting“.

“Tidak sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena untuk menentukan adanya perbuatan melawan hukum merupakan kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam hal unsur kerugian keuangan negara,” katanya ketika dihubungi Ruangenergi.com, (11/09).

Ia menjelaskan bahwa, Konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 sebaiknya dilihat secara komprehensif.

Diungkapkan juga tentang , berlakunya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan awal otonomi daerah, dimana pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat (sentralistik) kepada pemerintah daerah (otonomi). Selanjutnya dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dirubah kembali dengan UU No. 23 Tahun 2014, dan yang terakhir adalah UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014.

Pemerintah daerah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004).
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah pusat yang meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta urusan agama (Vide Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004).

Urusan yustisi (peradilan) adalah urusan pemerintahan pusat, yang dalam prakteknya di daerah masih terdapat perbedaan persepsi dalam masalah penegakan hukum khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi.

Berbagai hal tentang ketentuan normatif mengenai unsur-unsur pasal yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sering terjadi perbedaan penafsiran baik antara aparat penegak hukum di daerah (Polisi, Jaksa dan Hakim) sendiri maupun dengan para pejabat di daerah.
Hal ini merupakan persoalan yang perlu dikaji kembali sehingga dapat diformulasikan model penegakan hukum di daerah agar lebih efisien dan efektif atas penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Sementara itu, Mahkamah Agung mengungkapkan bahwa anak usaha BUMN/BUMD yang modalnya bukan dari negara apabila terjadi kerugian bukan menjadi kerugian negara.

“Kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang modalnya bukan bersumber dari APBN/APBD, atau bukan penyertaan modal dari BUMN/BUMD dan tidak menerima/menggunakan fasilitas negara, (bukan termasuk kerugian keuangan negara),” imbuhnya.

“Permasalahan yang timbul dapat diduga adanya kekeliruan penerapan pemberlakuan perjanjian (kontrak),” pungkasnya.