Kementerian BUMN

Privatisasi Badan Usaha Milik Negara dan Privatisasi Perusahaan Energi di Indonesia

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta,ruangenergi.com– Menurut Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, privatisasi adalah penjualan saham Perusahaan Perseroan Negara (Persero), baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.  Penjualan saham perseroan dapat dilakukan melalui penawaran umum di bursa, baik di dalam maupun di luar negeri, penempatan langsung (direct placement), konversi hutang ke modal, restrukturisasi atau cara lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Secara normatif, definisi BUMN bersifat terbatas terhadap Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Namun demikian, dalam konteks implementasi dan prakteknya, demarkasi ini tidak serta merta berlaku saklak (zakelijk). Melalui instrumen tertentu seperti hak saham istimewa, veto, pengendalian manajemen dan kebijakan strategis, definisi pertanggungjawaban keuangan, standar operasi prosedur dan lain-lain, nuansa BUMN itu mengalir sampai jauh, terlepas dari proporsi saham maupun tingkatan strukturnya.

Privatisasi dapat dilakukan pada level Holding, Induk, Anak atau Cucu Perusahaan. Dengan status Perusahaan Persero Terbuka (Tbk), akan ada kewajiban pada perusahaan untuk menerapkan prinsip tata kelola korporasi yang baik dan universal (sound and universal corporate governance) seperti prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban serta kewajaran.

Dalam konteks privatisasi BUMN Energi di Indonesia, pengalaman luar negeri negara lain dapat dijadikan sebagai refleksi. Misalnya pengalaman Pemerintah Inggris, Rusia dan Arab Saudi. Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher tahun 1980an dikenang sebagai Perdana Menteri yang memprivatisasi hampir semua BUMN strategis, untuk mengatasi krisis fiskal, tekanan defisit sekaligus mendorong BUMNnya lebih kompetitif dan fleksibel dalam mencari pasar, teknologi, pembiayaan dan enterpreneurship. Satu di antaranya adalah British Gas. Saat ini British Gas adalah satu dari enam (big six) Perusahaan Energi terkemuka di Britania Raya yang memasok gas, listrik, pemanas dan energi terbarukan.  Harga per saham pada saat penawaran perdana adalah 1,35 pound. Saat ini harga saham per lembar tercatat di bursa di atas 80 pound.

GAZPROM adalah perusahaan energi terintegrasi milik BUMN Rusia dengan status Perusahaan Multi Nasional, yang bergerak dalam industri gas terintegrasi meliputi eksplorasi, produksi, kilang, transportasi, distribusi dan pemasaran, serta pembangkitan listrik. Anak-anak usaha dan afiliasinya merambah hingga ke industri media, penerbangan carter hingga pembiayaan.

Pada tahun 1993, seluruh warga negara Rusia diberi hak opsi berupa voucher untuk membeli saham Perusahaan. Kepemilikan asing dibatasi maksimal 10%. Di bawah Presiden Putin sejak tahun 2000, pengendalian Negara diperkuat atas segmen dan unit-unit utama dan esensial pada rantai bisnis, anak usaha maupun afiliasinya. Forbes Global 2000 mencatatkan Gazprom sebagai Perusahaan publik terbesar ke 32 di dunia, yang mencatatkan omzet sebesar 87,7 miliar dolar pada tahun 2020.

Dalam perang di Ukraina, posisi dominan sebagai pemasok gas ini termasuk senjata geopolitik Rusia di Eropa. Tahun 2021 Uni Eropa mengimpor gas alam Rusia sebesar 155 miliar meter kubik, yang meliputi 45% porsi gas impornya. Negara Negara di Eropa sesungguhnya sudah sejak lama menyatakan kekuatirannya bahwa Pemerintah Rusia sangat dapat menggunakan Gazprom sebagai senjata geopolitik di kawasan. Komisi Eropa misalnya, menuduh bahwa posisi dominan Gazprom di beberapa Negara, membuat negara negara tersebut terutama di Eropa Timur kesulitan mendapatkan akses alternatif sumber pasokan gas yang lebih dapat diandalkan dan lebih murah.  Secara keseluruhan, kepemilikan Pemerintah Rusia pada Gazprom saat ini pada level holding ada sebesar 50,23%.

Saudi Aramco adalah Perusahaan Minyak Nasional Arab Saudi yang didirikan sejak tahun 1933 pasca perang dunia pertama. Bagi Arab Saudi, dan bahkan dunia, dominasi Saudi Aramco di dunia migas, baik OPEC maupun Non OPEC tidak sekedar perusahaan minyak. Tetapi Perusahaan tersebut adalah salah satu lambang pendulum geopolitik, Timur Tengah hingga lintas samudera. Pada Saudi Aramco tercantol sebuah reputasi. Reputasi Negara, Keluarga Kerajaan bahkan berasosiasi dengan kebanggaan Arab dalam dimensi politik, ekonomi hingga sosial. Saudi Aramco adalah lambang kedigdayaan Arab Timur Tengah dengan segala ikutannya vis a vis dunia Barat.

Zaman berubah. Di bawah Pangeran Putera Mahkota Mohamed Bin Salman (MBS), yang berpandangan modern progresif, yang tidak mau terjebak dengan romantika, dakwah dan pandangan konservatif, Saudi Aramco dibawa ke pasar keuangan dunia. Di pasar saham dan pasar obligasi sekaligus. Perusahaan Konsultan bereputasi dunia seperti Goldman Sachs, HSBC, Morgan Stanley, JPMorgan dan NCB Capital digandeng dan didengarkan. Dengan cadangan minyak kedua terbesar di dunia lebih dari 270 miliar barel, menambah keyakinan kepada investor, lembaga keuangan dan ekosistem pasar.

Hasilnya nyata. Pada bulan Desember 2019, sekitar 1,5% saham dicatatkan untuk penawaran saham perdana (Initial Public Offering – IPO) dengan harga per lembar saham dibanderol 32 Riyal Saudi (sekitar 8,5 dolar Amerika Serikat). Pemesanan saham membludak hingga 456%, yang menghasilkan pemasukan 25,6 milyar dolar Amerika Serikat. Sukses terbesar sepanjang sejarah.

Sehubungan dengan dinamika pasar yang lemah sebagai imbas dari COVID 19, perusahaan memerlukan beberapa upaya penyehatan struktur keuangan. Obligasi senilai 10 milyar dolar juga berhasil diterbitkan.

Dalam laporan keuangan konsolidasi tahun 2021, Saudi Aramco mencatatkan aset senilai 576.718 juta dolar Amerika Serikat. Anak usaha Saudi Aramco meliputi unit usaha petrokimia, trading, kilang minyak, perkapalan.

Trend Transisi Energi  

Sebagai bagian dari komitmen global, Indonesia menyampaikan komitmennya untuk mencapai karbon netral (net zero emission) sebelum tahun 2060 dengan mengurangi penggunaan energi berbasis fosil yang boros emisi karbon dioksida. Termasuk dalam peta jalan tersebut adalah mencapai bauran energi dengan komponen energi bersih sebesar 23% di tahun 2025. Sebagai informasi, saat ini, komponen energi bersih dalam bauran energi masih pada kisaran 12%.

Manajemen pencapaian energi bersih dilakukan secara komprehensif baik pada sisi supply energi maupun demand energi. Salah satu demand energi adalah dengan mendorong ekosistem mobil listrik berbasis energi baterai. Hal ini akan memerlukan komponen mineral dan logam yang besar. International Energy Associatiation (IEA) memperkirakan di tingkat global ada kenaikan permintaan bahan logam dan mineral kritis seperti lithium, nikel, kobalt, aluminium, tembaga sebanyak 6 kali lipat dalam 20 tahun ke depan, dari angka saat ini sekitar 8 juta ton.

Privatisasi Perusahaan Energi di Indonesia

Indonesia, sesungguhnya memiliki pengalaman dalam privatisasi BUMN. Pasca reformasi 1998, Kementerian BUMN dibentuk. Menteri BUMN yang pertama Tanri Abeng memprivatisasi sejumlah BUMN. Untuk menghindarkan persepsi privatisasi sebagai swastanisasi, beliau menyebutnya sebagai upaya penyehatan atau profitisasi.

Saat ini tercatat beberapa BUMN Energi dengan status Persero Terbuka (Tbk). Di antaranya adalah PT PGN Tbk sebagai anak usaha Pertamina dengan kegiatan utama di bidang transmisi dan distribusi gas bumi, PT Bukit Asam Tbk di bidang pertambangan batubara, PT ANTAM Tbk di bidang pertambangan mineral, dan PT Elnusa Tbk sebagai anak usaha Pertamina Hulu Energi atau Cucu PT Pertamina Persero yang menyediakan berbagai jasa pendukung pengeboran minyak dan gas.

Pemerintah Indonesia memiliki beberapa target-target besar ke depan. Di bidang hulu migas misalnya, dicanangkan peningkatan produksi migas hingga 1 juta barel per hari dan gas 12 milyar standar kaki kubik per hari di tahun 2030. Saat ini produksi minyak dan gas digabung adalah pada kisaran juta barel minyak ekuivalen. Untuk mencapai target tersebut diperlukan upaya ekstra keras di bidang eksplorasi, peningkatan cadangan, produksi hingga optimasi dari lapangan eksisting. Hal ini memerlukan modal, teknologi dan pembiayaan, serta kepastian pasar yang tidak mudah.

Dengan mempertimbangkan konteks di atas, serta mengambil pelajaran dari pengalaman Negara-negara lain, apabila Pemerintah Indonesia bermaksud untuk memperkuat struktur permodalan BUMN tertentu melalui penawaran saham perdana di bursa atau dengan moda financial reengineering lainnya, kiranya beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan:

  • Persiapan yang matang dari sisi administrasi, pembukuan, kelengkapan dan konsistensi regulasi, valuasi aset dan proyeksi finansial dan market asesment
  • Momen dan timing melaunching rencana IPO dan sejenisnya dengan mengukur secara tepat animo dan kekuatan pasar (market gauging)
  • Mengkampanyekan bahwa peningkatan modal diperlukan untuk dimaksudkan dan dikaitkan dengan upaya untuk mencapai energi yang lebih bersih
  • Mengusahakan partisipasi Negara-negara yang memiliki Sovereign Wealth Fund yang didedikasikan untuk Program program Energi bersih, dengan mutual benefit yang bersifat jangka panjang
  • Dalam hal kerja sama kemitraaan strategis seperti direct placement dengan korporasi di luar negeri, maupun dengan pemain capital portofolio agar dilakukan uji tuntas serta nota kesepahaman yang meliputi potensi nilai tambah yang diperoleh dari penguatan permodalan, transfer teknologi dan paten bersama, penetrasi dan swap pasar yang adil.

Sampe L. Purba, Pemerhati Geostrategi Energi – Senior Fellow Universitas Pertamina