Jakarta, Ruangenergi.com – Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, meminta produsen batubara memprioritaskan kebutuhan dalam negeri agar harga tetap terkendali.
Menurutnya, harga batubara yang tak terkendali dapat mengancam beberapa industri tanah air. Jika tidak ditangani dengan benar, batubara akan membuat efek yang berkesinambungan.
“Mulai industri kolaps sampai bermunculan pengangguran. Pemerintah harus segera melakukan intervensi guna menyelamatkan sejumlah industri di tanah air yang mengonsumsi batubara dalam kegiatan operasionalnya,” ungkap Jemmy kepada ruangenergi.com, (25/10).
Ia melanjutkan, hal ini seiring dengan harga batubara yang meroket hingga mencapai harga di atas US$ 200 per ton.
“Sejumlah industri yang terkena pukulan tingginya harga batubara dan berakibat parah mengakibatkan kegiatan operasionalnya tidak bisa lagi berjalan maksimal. Bahkan, ada yang menurunkan kapasitas produksinya,” terangnya.
Dia menjabarkan, industri tersebut di antaranya semen, tekstil, kertas, pupuk hingga industri pengolahan dan pemurnian serta industri kimia lainnya.
Untuk itu, Pihaknya berharap Pemerintah dapat menetapkan selling price, harga maksimum batubara untuk kebutuhan dalam negeri (DMO/Domestic Market Obligation batubara). Selain itu u, persyaratannya juga harus dicantumkan.
“Misalnya harus bayar tunai atau kredit dengan tenor berapa lama. Sebagai informasi, harga batubara saat ini masih berada di atas US$ 200 per ton. Harga yang begitu tinggi dikhawatirkan akan membuat pengusaha batubara nasional jor-joran ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri,” paparnya.
Melihat tingginya harga batubara seperti ini, pihaknya khawatir akan semakin banyak industri yang mengurangi kapasitas produksinya, bahkan ada tanda-tanda sejumlah industri akan menutup usahanya.
“Kalau ini terjadi ujung-ujungnya karyawan akan dirumahkan lagi. Kami berharap hal tersebut tidak terjadi,” tuturnya.
Karena itu, Jemmy meminta kepada produsen batubara agar juga memperhatikan kebutuhan batu bara dalam negeri. Pasalnya, jika dibandingkan untuk ekspor, kebutuhan DMO batu bara terbilang kecil, hanya 25%.
Menurutnya, jika kebutuhan tersebut terpenuhi, industri tekstil dan industri lainnya bisa beroperasi secara full atau maksimal.
“Intervensi pemerintah dengan selling price-nya, akan membuat pelaku industri mempunyai panduan atau patokan harga untuk DMO batubara sehingga mereka bisa berhitung untuk keperluan ongkos produksinya,” ujarnya.
Sebelumnya, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa kenaikan harga batubara justru bisa menjadi bumerang bagi industri dalam negeri. Pasalnya, ongkos yang harus dikeluarkan industri untuk sumber energinya akan menjadi lebih besar dari biasanya.
Namun, katanya, di sisi lain tren kenaikan harga batubara ini bisa menjadi berkah bagi Indonesia karena bisa meningkatkan penerimaan negara.
Yang menjadi tantangan bagaimana batubara di dalam negeri tetap kompetitif. Artinya, jika harganya terlalu tinggi industri dalam negeri akan kesulitan memperoleh energi karena terlalu mahal.
Karena itu, Airlangga menekankan perlu adanya keseimbangan antar sektor agar industri tidak dirugikan dari lonjakan harga batu bara ini.
“Kita harus mendorong keseimbangan antar-sektor tersebut. Namun, pernyataan Menko Perekonomian tersebut masih sebatas wacana,” katanya.
Pasalnya, hingga saat ini, pemerintah belum mengambil langkah-langkah strategis guna meredam gejolak kepanikan industri-industri dalam negeri akibat tingginya harga batubara.