Riki F.Ibrahim : Manajemen Proyek Berperan Penting Dalam Pengembangan Panas Bumi

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

PT Geo Dipa Energi (Persero), salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) fokus mengembangkan wilayah kerja panas bumi (WKP), yakni WKP Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dan WKP Patuha, Jawa Barat.

GeoDipa juga tengah menyelesaikan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng skala kecil berkapasitas 10 mega watt (MW), PLTP Dieng Unit 2 dan 3 dengan kapasitas 2 x 55 MW, PLTP Patuha Unit 2 dan 3 berkapasitas 2 x 55 MW, dan PLTP Candradimuka, Kota Banjarnegara, Jawa Tengah 40 MW.

Dalam proses pembangunan PLTP selain ada hal teknis, manajemen proyek merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui sejauhmana pentingnya hal tersebut ruangenergi.com mewawancarai secara tertulis Direktur Utama PT Geo Dipa Energi Riki Firmandha Ibrahim. Berikut petikannya:

Apa pandangan anda terhadap pentingnya manajemen proyek untuk pengembangan panas bumi?

Kata ‘manajemen’ sudah tidak asing lagi dewasa ini untuk kita semua yang prinsip dasar artinya adalah suatu upaya untuk mencapai suatu tujuan dengan cara efektip dan efisien. Oleh karena itu, pentingnya manajemen proyek untuk pengembangan panas bumi, tentu saja, jawaban singkatnya adalah sangat penting dilakukan agar tujuan proyek dapat selesai dengan efisien sesuai standar suatu pengerjaan proyek infrastruktur Ketenagalistrikan.

Apabila kita bandingkan penyelesaian proyek PLTP di Indonesia dengan di negara lain, seperti di Phillipines, New Zealand dan US, penyelesaiannya itu masih belum seperti apa yang diharapkan. Ini hampir di rata-rata pada semua pengerjaan di Indonesia sebelum menghadapi tantangan pandemic COVID19.

Definisi atau pemahaman penjelasan ini adalah diatas satu tahun melewati perjanjian waktu COD (Commence On Development). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini, secara umum dapat dikatakan bahwa faktor terbesar dikarenakan lemahnya komunikasi dan koordinasi baik internal maupun external.

Saat ini, risiko suatu langkah pergerakan badan usaha sudah jauh lebih baik penangananya dibandingkan di era 80an karena risiko pekerjaan sudah termitigasi dengan baik, lebih lanjut bahwa risiko sudah ditangani dengan konsep Governance, Risk and Complience atau kita sebut biasanya GRC. Konsep ini adalah konsep yang komprehensif dalam pengintegrasian penerapan ‘Manajemen Risiko’, Tatakelola Organisasi yang baik dan kesesuaian atau kepatuhan.

Lemahnya komunikasi dan koordinasi itu termasuk dalam prinsip dasar pikiran pada bagian GRC. Oleh karena itu, yang saya lakukan di GeoDipa adalah menyamakan kapasitas berpikir diantara Direksi dan seluruh Leaders (para Manager dan General Manager) dengan memastikan memiliki konsep Governance, Risk and Complience atau kita sebut biasanya GRC yang terintegrasi.

Alhamdulillah GeoDipa sejak tahun 2016 setelah mendapatkan pemahaman yang sama, hasilnya ada perbaikan walaupun belum optimal, tetapi untuk beberapa contoh seperti pencapaian target produksi tahunan, penyelesaian proyek baik besar dan kecil nilainya seperti Work-Over Well, pembangunan Smallscale PLTP, overhaul Turbin serta lainnya hingga proyek Community Development dan lain-lainnya.

Pentingnya manajemen proyek termasuk pada pengembangan panas bumi itu sebaiknya dikaitkan pula dengan penerapan ‘Manajemen Risiko’, Tatakelola Organisasi yang baik dan kesesuaian atau kepatuhan yang komprehensif dan terintegrasi.

Apakah keekonomian penting dalam usaha panas bumi?

Dalam melakukan kegiatan ekonomi untuk tujuan suatu badan usaha, mencari keuntungan itu tentu sangat penting sekali karena apabila tidak dapat melaksanakan kegiatan mendapatkan keuntungan dengan memberikan hasil ekonomi yang benar dan baik maka tentu hasilnya tidak baik dan benar.

Usaha pengembangan energi panas bumi di Indonesia harus berkompetisi. Hal ini sama usahanya seperti di negara maju yang menjual listriknya dengan harga pasar, berkompetisi. Kompetisi sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak lahir dan semakin dewasa semakin keras dalam memperjuangkannya.

Keekonomian proyek panas bumi itu tergantung dari nilai WACC suatu badan usaha. Sebagaimana dalam gambar dibawah ini bahwa Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang suatu proyek dapat dijelaskan perbandingannya dengan WACC. Tentu badan usaha swasta (private) akan memiliki variasai angka dari kemampuan biaya utangnya.

Pada contoh disini Badan Usaha Swasta adalah 6% yang kebetulan lebih tinggi dari angka BUMN, 4.7%.
Namun untuk badan usaha dari offshore seperti ExxonMobil, Shell, Chevron dan lainnya dapat memberikan kemampuan biaya utang yang lebih kecil dari angka BUMN karena sumber pendanaannya sudah memiliki jaminan yang didefinisikan sebagai 5C (Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral).

Hal ini terbukti pada waktu krisis ekonomi 1997/8 yang lalu, setelah direstruktur, ternyata Chevron sepakat dengan 4.2 cent per kWh dan PLTP Darajat yang pertama menyetujui menurunkan harga jual listriknya dengan penambahan waktu dari 30 tahun menjadi 40 tahun. Sebagai informasi, pengurangan harga listrik dengan diberikannya penambahan waktu itu bukan sebagai hal yang menarik bagi badan usaha swasta karena risiko itu masih menjadi bagian yang melekat (terpenting dikhawatirkan).

Untuk mempertahankan keekonomian dari usaha panas bumi itu sangat perlu mempertimbangkan memberikan nilai MARR (Minimum Rate of Return), tingkat suku bunga pengembalian minimum yang layak dari suatu investasi, yang tidak menambah lagi nilai ‘Premium Risiko’ diatas 2% atau MARR menjadi diatas 9.2%.

Pengembangan panas bumi di Indonesia dewasa ini sudah didukung dengan pendanaan PISP, GEUDP dan GREM yang mana realisasinya itu dibantu oleh pendanaan Bank Dunia. Ini membuktikan bahwa pengembangan panas bumi di Indonesia harus tidak dilakukan lagi dengan cara Business As Usual (BAU). Pengembangan panas bumi itu unik karena harus dilakukan oleh badan usaha yang memiliki kemampuan berusaha secara keberlanjutan.

Risiko pengusahaan panas bumi terbukti rata-rata sekitar 25% ~ 40% apabila dilakukan bertahap melalui strategi pengeboran ‘Drilling Campaign’ dilakukan secara masif, kelayakan ekonomi untuk usaha pengembangan panas bumi dapat terwujud.