Energi Watch Indonesia

Rubah Mindset, Dari Negara Pembeli Menjadi Negara Produsen

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahean, meminta agar Pemerintah dapat merubah mindset dari negara pengguna menjadi negara pembuat.

Pengguna yang dimaksud adalah membeli barang impor, sementara pembuat merupakan sebagai produsen alias bangun industri untuk menunjang kebutuhan dalam negeri.

Dalam diskusi “Peran dan Dukungan BUMN Dalam Pengembangan TKDN”, ia mengungkapkan, tema diskusi ini sangat menarik.

“Meskipun sebetulnya BUMN disini kalau dibilang mendukung mereka kesulitan ya, bahkan berat sekali untuk mewujudkan soal TKDN ini,” jelas Ferdinand, (25/03).

Ia menambahkan, bicara regulasi, banyak sekali aturan yang mengatur tentang TKDN, mulai dari Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Lembaga dan lainnya.

Menurutnya, sederet peraturan Menteri-Menteri mulai dari Peraturan Menteri Perindustrian, ESDM, hampir semua lembaga atau Kementerian terkait project pasti ada aturan TKDN.

“Disini sebetulnya kesalahan mindset kita. Yang pertama adalah kita terlalu banyak bicara tentang menggunakan komponen dalam negeri, tetapi kita terlambat bicara bagaimana membangun industri yang menyediakan komponen dalam negeri,” terangnya.

Ia menjelaskan, Indonesia sekarang menjadi negara yang hanya membeli (konsumen), tetapi puluhan tahun lupa untuk membangun industri (produsen).

“Kita hanya membeli, membeli dan membeli saja, tapi tidak memikirkan caranya membuat. Bagaimana supaya komponen lokal bisa digunakan oleh industri-industri termasuk BUMN-BUMN kita. Kita sibuk dengan regulasi mengatur TKDN tetapi kita tidak punya industrinya,” imbuh Ferdinand.

Seperti halnya pembangunan Gardu Induk yang dilakukan oleh PT PLN (Persero). Ia mengatakan, dari hal kecil tetap harus impor.

 

“Saya dulu sempat jadi (kuli-red) membangun gardu induk, transmisi bahkan sekadar untuk membeli fitting listrik dan konektor saja itu kita impor dari Korea (Sam Dong) dan China. Bahkan dulu saya berapa kali harus terbang ke luar negeri yang untuk FAT (Factory Acceptance Test) untuk meninjau pabriknya,” jelas harus kita rubah sekarang, jangan kita sibuk bicara menggunakan nya.

“Kita lupa mindset yangTKDN tetapi kita tidak membangun industrinya,” tegas Ferdinand.

Dikemukakan olehnya, dari hulu sampai hilir di sektor energi (SKK Migas, Pertamina, PLN) ini menggunakan teknologi tinggi dan terbaru (update) semua, tidak ada teknologi yang konvensional.

Sebab, kata Ferdinand, kebutuhan terhadap komponen-komponen di sektor energi sangat luar biasa besarnya, dan nilai uangnya luar biasa setiap tahun terbang dan tidak nikmati oleh bangsa Indonesia.

“Kita masih berkutat TKDN kepada sumber daya manusianya tetapi belum TKDN kepada materialnya. Padahal kan materialnya ini yang paling banyak uang keluar, dan ini harus kita evaluasi. Lalu bagaimana agar industri lokal kalau harus kita bangun mampu bersaing harga barang yang impor (relatif murah) sebab ini kendala paling utama,” paparnya.

Disitulah UU Cipta Kerja yang kemarin lahir, ia sangat berharap agar pemerintah segera menelurkan regulasi baru terhadap pembangunan industri-industri lokal ini.

Terkait pengawasan TKDN, Ferdinand mengatakan, sudah banyak sekali kerjasama yang dilakukan dengan Surveyor Indonesia dan Sucofindo atau lembaga independen yang melakukan perhitungan. Jika dirumuskan sejak awal penetapan harga satuan unit price dari setiap pekerja itu kan ada analisisnya yang menetapkan satu pekerjaan terhadap TKDN-nya.

“TKDN kita terlalu besar kepada sumber daya manusia, tapi belum terhadap produknya. Ini harus diselesaikan dengan cara membangun industrinya. Tanpa industri yang murah dan industri yang mudah dibangun, kita hanya akan sebatas semangat saja untuk menggunakan TKDN, tapi akan kesulitan mewujudkannya,” tandas Ferdinand.