Jakarta, Ruang Energi– Dari dokumen yang diterima ruangenergi.com terungkap rencana strategis PLN untuk memenuhi kebutuhan pasokan gas sebagai upaya untuk menjaga keandalan pembangkitnya.
Dalam sepuluh tahun kedepan, perkiraan kebutuhan investasi PLN dan Swasta rata-rata adalah sebesar Rp 139,5 triliun per tahun. Investasi ini terdiri dari investasi swasta sebesar Rp 51,7 triliun per tahun dan PLN Rp 87,8 Triliun per tahun.
Investasi PLN meliputi pembangkit sebesar Rp 37,5 triliun per tahun, transmisi dan GI Rp 22,4 triliun per tahun, distribusi Rp 17,2 triliun per tahun serta lainnya Rp 10,7 triliun per tahun.
Maluku serta Tangguh di Papua Barat. Produksi rata-rata gas bumi nasional adalah sebesar 2,08 TSCF per tahun. Beberapa lapangan gas baru telah ditemukan antara lain Lapangan Sakakemang di Sumatera Selatan, Lapangan Bronang di Natuna dan Wolai di Sulawesi Tengah.
Berdasarkan Press Conference Progress Hulu Migas yang dikeluarkan oleh SKK Migas dengan status progress sampai dengan 30 September 2020, peta pengembangan hulu gas yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN)
Berdasarkan status pengembangan proyek hulu gas tersebut, PLN dapat mempertimbangkan sumber-sumber pasokan gas untuk memenuhi kebutuhan pembangkit PLN.
Berdasarkan neraca gas bumi Indonesia 2018-2027 yang diterbitkan oleh Ditjen
Migas seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.9, rata-rata produksi gas bumi Indonesia selama 5 tahun terakhir sebesar 7,997 MMSCFD. Trend produksi selama 5 tahun terakhir menunjukan penurunan dari 8,130 MMSCFD di tahun 2013 menjadi 7,620 MMSCFD di tahun 2017. Dari produksi gas bumi tersebut, terdapat 8% losses yang berupa impuritis, gas suar bakar dan pengunaan sendiri sehingga realisasi lifting pada tahun 2017 sebesar 6,607.65 MMSCFD. Dari lifting gas bumi tersebut, 58.59% dimanfaatkan untuk domestik dan 41.41% diekspor.
Di dalam buku Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027 dipaparkan 3 skenario neraca gas bumi dengan memperhitungkan seluruh potensi pasokan gas bumi Indonesia dan memperhatikan metodologi pada demand sebagai berikut:
1. Skenario I
Neraca Gas Nasional akan mengalami surplus gas dari tahun 2018-2027, hal ini dikarenakan perhitungan demand didasarkan pada realisasi pemanfaatan gas bumi serta tidak diperpanjangnya kontrak-kontrak ekspor gas pipa/LNG jangka panjang.
2. Skenario II
Neraca Gas Nasional akan mengalami surplus gas dari tahun 2018-2024 dan akan mengalami defisit gas pada tahun 2025-2027.
Kondisi ini terjadi dengan asumsi:
a. Pemanfaatan gas dari kontrak existing terealisasi 100%,
b. Pemanfaatan gas untuk sektor kelistrikan sesuai dengan RUPTL 2018-2027,
c. Asumsi pertumbuhan gas bumi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi yaitu 5,5% untuk sektor industri retail,
d. Pelaksanaan Refinery Development Master Plan (RDMP) sesuai jadwal,
e. Pelaksanaan pembangunan pabrik-pabrik baru petrokimia dan pupuk sesuai jadwal.
3. Skenario III Neraca Gas Nasional mengalami surplus gas dari tahun 2019-2024 serta mengalami defisit di tahun 2018 dan 2025-2027. Kondisi ini terjadi dengan
asumsi:
a. Pemanfaatan gas dari kontrak existing terealisasi 100%,
b. Pemanfaatan gas untuk sektor kelistrikan sesuai dengan RUPTL 2018-2027,
c. Sektor industri retail memanfaatkan gas pada kapasitas maksimum pabrik serta penambahan demand dari pertumbuhan ekonomi dengan asumsi 5,5%,
d. Pelaksanaan Refinery Development Master Plan (RDMP) sesuai jadwal,
e. Pelaksanaan pembangunan pabrik-pabrik baru petrokimia dan pupuk sesuai jadwal.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan gas untuk tenaga listrik, Pemerintah telah menerbitkan kebijakan-kebijakan strategis untuk memastikan keberlangsungan pasokan listrik melalui pembangkit berbahan bakar gas. Dalam memberikan kepastian pasokan gas, Menteri ESDM melalui Keputusan Menteri Nomor 34 K/16/MEM/2020 tanggal 3 Februari 2020 tentang Penetapan Alokasi dan Pemfaatan Gas Bumi untuk Penyediaan Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah memberikan kepastian alokasi gas untuk seluruh pembangkit berbahan bakar gas sesuai dengan RUPTL 2019-2028.
Dengan adanya Keputusan Menteri tersebut, PLN mendapatkan kepastian alokasi gas di suatu lapangan gas yang masih memiliki cadangan gas meskipun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) existing telah selesai kontraknya dan digantikan KKKS yang baru. Di sisi lain, Pemerintah juga mendukung PLN untuk mendapatkan harga gas yang wajar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2020 tanggal 6 April 2020 yang merupakan perubahan dari peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik.
Peraturan Menteri ESDM tersebut mengatur harga gas di pembangkit tenaga listrik (plant gate) PLN, dengan mempertimbangkan harga minyak mentah sekaligus memberikan batasan harga gas yang wajar untuk menekan biaya energi primer dalam produksi tenaga listrik. Disamping itu dalam pengembangan infrastruktur gas, untuk menjaga keekonomian pengembangan infrastruktur termasuk memberikan kepastian biaya midstream, telah diterbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi di mana ditetapkan biaya niaga maksimal sebesar 7 % dari harga gas bumi dan IRR maksimal sebesar 11% dan 12% untuk pioneering sebagaimana diubah dengan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2019 tanggal 16 September 2019. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional telah mengamanatkan bahwa
“Pemerintah mewujudkan pasar tenaga listrik paling sedikit melalui pengaturan harga Energi Primer tertentu seperti batubara, gas, air, dan panas bumi untuk pembangkit listrik”.
Keputusan Menteri ESDM Nomor 91K/12/MEM/2020 tentang Harga Gas Bumi di Pembangkit Tenaga Listrik (Plant Gate) diterbitkan untuk melaksanakan Pasal 5 dan Pasal 8
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 45 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 45 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk
Pembangkit Tenaga Listrik, serta berdasarkan hasil Rapat Terbatas tentang penyesuaian harga gas untuk industri dan bahan bakar minyak non subsidi tanggal 18 Maret 2020. Keputusan Menteri tersebut menetapkan harga gas bumi di pembangkit tenaga listrik (plant gate) yang merupakan perhitungan penyesuaian terhadap komponen harga gas bumi dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta biaya penyaluran yang terdiri atas biaya transportasi dan biaya midstream gas bumi.
Penurunan harga gas tersebut diterapkan untuk sektor kelistrikan dalam rangka menyediakan listrik yang terjangkau bagi masyarakat dan mendukung pertumbuhan industri. Penurunan harga gas untuk industri termasuk pupuk dan PLN tidak menambah beban keuangan negara.
Pemenuhan gas untuk operasional pembangkit PLN dipenuhi dengan sumber pasokan melalui gas pipa dan dengan LNG.
Dalam rangka mengantisipasi cadangan gas pipa existing yang sewaktu-waktu dapat mengalami penurunan pasokan (depletion) lebih cepat dan lokasi pembangkit berbahan bakar gas yang tersebar, PLN juga telah mengadakan sumber pasokan gas dalam bentuk LNG. PLN saat ini telah memiliki kontrak pasokan LNG jangka panjang hingga mencapai 60 kargo per tahun yang akan berakhir pada tahun 2034, dimana kandungan energi 1 kargo setara dengan 2.650-3.100 BBTU tergantung volume LNG yang di bawa LNGC menyesuaikan kapasitas terminal penerima. Kontrak pasokan LNG yang berasal dari Lapangan Tangguh dengan klausul multi destinasi tersebut akan memasok LNG ke fasilitas regasifikasi di Arun untuk kebutuhan gas untuk pembangkit-pembangkit PLN di wilayah Sumatera Utara dan Aceh, dikirim ke FSRU Jawa Barat untuk memasok gas ke pembangkit gas di Muara Karang, Muara Tawar dan Tanjung Priok, dan di kirim ke FSRU Jawa 1 untuk memasok gas ke PLTGU Jawa 1, serta ke destinasi lainnya di seluruh Indonesia sesuai kebutuhan PLN.
Dengan mempertimbangkan beberapa sumber pasokan gas pipa yang mengalami early decline (Kepodang, Saka, WMO, dll) dan sedang berjalannya proses penyiapan beberapa infrastruktur LNG baru untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik yang tidak memiliki akses gas pipa, kemungkinan PLN masih membutuhkan tambahan pasokan LNG di luar volume LNG yang telah terkontrak di atas. Tambahan pasokan LNG tersebut diharapkan dapat dipenuhi dari sumber-sumber pasokan LNG domestik, termasuk dari sumber-sumber LNG baru seperti Blok Masela dan lapangan gas lainnya.
Berikut ini situasi pasokan gas pembangkit utama PLN di sistem Jawa Bali:
Cilegon
Pasokan gas untuk pusat listrik Cilegon berasal dari Wilayah Kerja/WK Southeast Sumatra dan dari PGN. Penurunan pasokan gas dari WK Southeast Sumatera mulai tahun 2019 dapat diimbangi dengan penambahan pasokan gas dari PGN sehingga tidak mengurangi kemampuan operasional pembangkit
Pasokan gas dari PGN dapat ditingkatkan sampai dengan 60 BBTUD namun memerlukan tambahan fasilitas kompresor mengingat keterbatasan tekanan pipa distribusi PGN. Secara jangka panjang, perlu dipertimbangkan pemanfaatan LNG untuk menggantikan sumber gas pipa yang semakin menurun tersebut.
Muara Karang dan Priok
Mengingat peran Muara Karang dan Priok sangat strategis dalam memasok kebutuhan listrik untuk kota Jakarta, maka kedua pembangkit tersebut harus senantiasa dioperasikan dengan output dan keandalan yang tinggi. Penurunan pengoperasian pembangkit Muara Karang dan Priok akan terjadi ketika semakin andalnya infrastruktur transmisi di sistem tenaga listrik Jawa-Bali.
Pengoperasian kedua pusat pembangkit tersebut sebagian besar dipasok dari FSRU Jawa Barat yang saat ini dimiliki oleh PT Nusantara Regas (NR), PGN dan dari WK Offshore Northwest Java/ONWJ di lepas pantai utara Jawa Bagian Barat. Namun dengan semakin berkurangnya kemampuan produksi dari WK ONWJ yang tersedia saat ini, akan menyebabkan kebutuhan alokasi LNG bagi kedua pusat listrik ini menjadi semakin meningkat. Mengingat kontrak kerjasama untuk FSRU Jawa Barat antara PLN dengan NR akan berkahir pada akhir 2022 dan untuk memenuhi kebutuhan pasokan gas serta mempertimbangkan keterbatasan pasokan gas pipa, maka masih diperlukan adanya FSRU untuk memasok gas ke pembangkit Muara Karang dan pembangkit Tanjung Priok, dimana kapasitas FSRU yang baru harus ditingkatkan (lebih besar dari kapasitas saat ini) untuk memenuhi kebutuhan operasional normal, beban puncak dan pasokan insidentil ketika terjadi gangguan sistem kelistrikan di Jawa Bagian Barat.
Skema penyediaan Terminal LNG Jawa Barat dapat dilakukan oleh PLN sendiri, atau melalui anak perusahaan PLN, atau melalui kerjasama dengan BUMN/badan usaha migas, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Muara Tawar
Berdasarkan kondisi sistem ketenagalistrikan Jawa Bali terkini, dimana pembangkit Muara Tawar terhubung ke jaringan 500 kV, maka pengoperasian pembangkit bersifat load follower yang membutuhkan fluktuasi pembebanan cukup tinggi, sehingga harus didukung oleh infrastruktur gas yang andal. Saat ini pasokan gas ke pembangkit Muara Tawar berasal dari WK Pertamina EP, PGN dan FSRU Jawa Barat yang saat ini dimiliki oleh PT Nusantara Regas (NR).
Meskipun pusat listrik Muara Tawar telah dilengkapi fasilitas CNG Storage, namun belum sepenuhnya mampu mengakomodasi fluktuasi pembebanan termasuk mengatasi kondisi insidentil ketika terjadi gangguan sistem kelistrikan di Jawa Bagian Barat mengingat keterbatasan pasokan gas pipa yang bisa digunakan untuk CNG, sehingga perlu didukung pemanfaatan pasokan gas dari fasilitas terminal LNG FSRU Jawa Barat dan gas ditransportasikan melalui pipa transmisi gas ruas Muara Karang-Muara Tawar milik Pertagas. Kedepannya, peran Muara Tawar akan menjadi pemikul beban puncak, seiring dengan akan beroperasinya pembangkit-pembangkit baru yang lebih ekonomis di Jawa Bali.
Mengingat peran pembangkit Muara Tawar ini sangat penting sebagai unit pendukung keandalan dan fast response di sistem kelistrikan Jamali dengan mempertimbangkan keterbatasan pasokan gas pipa, maka pembangkit Muara Tawar ini perlu didukung dengan pasokan LNG yang membutuhkan terminal LNG dan regasifikasi, dan kebutuhan ini dapat dijadikan satu klaster pasokan LNG dengan pembangkit Muara Karang dan pembangkit Tanjung Priok.
Tambak Lorok
Pusat listrik Tambak Lorok saat ini berfungsi sebagai pemikul beban puncak mengingat kondisi sistem Jawa Bali yang aman dengan cadangan daya yang cukup dari pembangkit berbahan bakar batubara. Pasokan gas untuk kebutuhan pembangkit di Tambak Lorok saat ini dipenuhi dari WK PEP Gundih melalui kerjasama antara PT Indonesia Power dan PT Sumber Petrindo Perkasa (SPP). Untuk itu dibutuhkan tambahan pasokan gas yang akan didapatkan dari
Lapangan Unitisasi Jambaran Tiung Biru (sudah terkontrak) dengan memanfaatkan pipa gas transmisi Gresik – Semarang (Gresem) untuk pasokan jangka panjang dan potensi lain dari reaktivasi Lapangan Kepodang. Dengan adanya pipa gas Gresem, pasokan gas ke pembangkit Tambak Lorok juga dapat dilakukan penambahan pasokan gas dari rencana Terminal LNG Jawa Timur untuk menjamin ketersediaan dan keandalan pasokan gas jangka panjang.
Pusat Listrik Tambak Lorok juga telah dilengkapi dengan fasilitas CNG Storage sehingga mampu mengakomodasi fluktuasi kebutuhan pasokan gas menyesuaikan dengan kebutuhan pembebanan pembangkit.
Gresik dan Grati
Pasokan gas untuk pusat listrik di Gresik dan Grati saat ini dipasok dari beberapa lapangan gas di Jawa Timur, antara lain dari WK Pangkah, Lapangan Terang Sirasun Batur, WK West Madura Offshore, WK Ketapang, Lapangan Peluang, Lapangan Oyong dan Lapangan Wortel. Namun pasokan gas tersebut akan semakin menurun dan akan habis secara bertahap mulai tahun 2020. Walaupun terdapat potensi pasokan gas baru seperti dari Lapangan Unitisasi Jambaran Tiung Biru, Lapangan 3M (MDA, MBH, MDK), Lapangan Paus Biru dan perpanjangan pasokan gas dari lapangan existing sesuai dengan kebijakan
Pemerintah, namun jika masih belum dapat mencukupi kebutuhan gas pusat listrik di Gresik dan Grati, maka diperlukan tambahan pasokan gas dari LNG.
Untuk hal ini, rencana pengembangan terminal LNG Jawa Timur (fasilitas storage dan regasifikasi) akan dipersiapkan guna memenuhi kebutuhan gas untuk kedua pusat listrik tersebut. Fasilitas terminal LNG Jawa Timur selain untuk memenuhi pasokan gas di Gresik dan Grati, dapat juga untuk memenuhi
pasokan gas di Tambak Lorok melalui pipa transmisi gas Gresik-Semarang, sehingga penyediaan terminal LNG Jawa Timur perlu mempertimbangkan kapasitas yang mencukupi untuk pasokan gas ketiga lokasi pembangkit tersebut. Skema penyediaan Terminal LNG Jawa Timur dapat dilakukan oleh
PLN sendiri, atau melalui anak perusahaan PLN, atau melalui kerjasama dengan BUMN/badan usaha migas, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk daerah dengan potensi gas yang besar, direncanakan pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar gas di dekat fasilitas produksi hulu gas bumi, atau disebut juga mulut sumur gas (wellhead).
Gas mulut sumur tersebut dapat juga ditransportasikan melalui pipa gas ke pembangkit. Pemanfaatan gas mulut sumur tersebut diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 dan perubahannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik, baik terkait alokasinya, pembelian tenaga listriknya serta harga gasnya.
Pengembangan pembangkit gas mulut sumur akan layak apabila cadangan gas dapat memenuhi kebutuhan gas hingga akhir masa operasi pembangkit (20-25 tahun). Namun salah satu tantangan dalam pemanfaatan gas mulut sumur adalah jangka waktu ketersediaan cadangan gas yang biasanya lebih singkat (sekitar 10 tahun) dibandingkan umur pembangkit dan adanya potensi depletion yang lebih cepat.
Hal ini dapat diantisipasi dengan mengkombinasikan pasokan dari sumur- sumur gas lain di dekatnya sehingga pembangkit mulut sumur harus ditempatkan di dekat dengan pipa transmisi gas. Beberapa potensi pemanfaatan gas mulut sumur antara lain di Aceh, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Sulawesi (Luwuk dan Sengkang).
Dengan semakin banyaknya rencana pembangunan pembangkit gas dengan skala kapasitas bervariasi dari kecil sampai besar dan tersebar di seluruh Indonesia, maka pengembangan pembangkit berbahan bakar gas dipenuhi melalui pola pasokan gas pipa dan LNG. Pasokan gas ke pembangkit dilakukan melalui gas pipa untuk lokasi yang tersedia infrastruktur pipa gas, sedangkan pasokan gas ke pembangkit dapat dilakukan melalui moda LNG untuk lokasi yang tidak tersedia infrastruktur pipa gas.
Mengingat pasokan gas melalui LNG membutuhkan infrastruktur logistik dan terminal LNG di masing-masing lokasi pembangkit, maka diperlukan kebutuhan gas yang pasti untuk menentukan pola logistik dan proses desain infrastruktur LNG yang paling memungkinkan serta perlu kepastian accessibility untuk transpotasi LNG ke lokasi pembangkit.
Untuk menjamin pasokan gas (security of supply), fleksibilitas pasokan (flexibility of supply) dan efisiensi biaya (cost efficiency), PLN merencanakan pola logistik energi primer berbahan bakar gas yang akan selalu disesuaikan dengan proyeksi demand-supply dan model logistik yang efisien Pada tanggal 10 Januari 2020, Pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 13.K/13/MEM/2020 (“KEPMEN 13”) tentang Penugasan Pelaksanaan
Penyediaan Pasokan dan Pembangunan Infrastruktur Liquified Natural Gas (LNG), serta Konversi Penggunaan Bahan Bakar Minyak dengan Liquified Natural Gas (LNG) dalam Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam hal ini Pemerintah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk menyediakan pasokan dan membangun infrastruktur LNG untuk 52 lokasi pembangkit (1.697 MW) dengan indikasi volume sekitar 148 bbtud yang tersebar khususnya di Indonesia Timur.
PT Pertamina (Persero) wajib menyediakan harga gas hasil regasifikasi LNG di plant gate yang akan menghasilkan BPP tenaga listrik lebih rendah dibandingkan menggunakan BBM (HSD). Implementasi KEPMEN 13 ini, PLN dengan Pertamina telah menandatangani Pokok-Pokok Perjanjian (HoA) pada tanggal 27 Februari 2020. Untuk melaksanakan KEPMEN 13, Pertamina menunjuk PGN dimana antara PLN dan PGN telah menandatangani Perjanjian Induk (Master Agreement) pada tanggal 5 Oktober 2020 sebagai pedoman operasional HoA.
3.3.2.1. LNG (Liquefied Natural Gas) dan Mini-LNG
Untuk mengatasi tantangan dalam mentransportasikan gas bumi ke lokasi pembangkit yang tersebar, dan tidak tersedianya jaringan pipa gas, maka gas bumi perlu diubah dalam bentuk LNG agar lebih mudah ditransportasikan datetap ekonomis untuk menjangkau lokasi-lokasi pembangkit yang jauh dari sumber gas.
LNG mempunyai kepadatan energi yang besar seperti bahan baka turunan minyak bumi, dan cukup layak secara ekonomi untuk melakukan pengangkutan ke area yang tersebar.
Pemanfaatan LNG membutuhkan infrastruktur untuk mengubah gas bum menjadi bentuk cair, mentransportasi, menyimpan dan me-regasifikasi mengubah kembali ke bentuk gas sebelum dapat dimanfaatkan oleh pembangkit listrik. Dampak rantai proses yang relatif panjang tersebut maka pada umumnya
harga gas di plant gate dari LNG lebih tinggi dari harga gas pipa. Di sistem tenaga listrik yang sudah mapan dengan pembangkit murah yang mampu melayani
beban dasar seperti di Jawa-Bali dan Sumatera, gas eks LNG ini hanya ekonomis untuk dipakai di pembangkit listrik yang memikul beban puncak (peaker). PLN merencanakan pemanfaatan LNG untuk pembangkit beban puncak dan pembangkit yang bersifat must-run di sistem tenaga listrik Jawa-Bali dan
Sumatera, serta untuk memenuhi kebutuhan pembangkit berbahan bakar gas di Indonesia Timur yang tidak tersedia pasokan gas pipa.
Dalam mengantisipasi penurunan pasokan gas pipa di Sumatera dan Jawa sekaligus menangkap potensi tersedianya LNG di pasar yang cukup banyak dan semakin murah, PLN akan memanfaatkan LNG untuk memenuhi kebutuhan gas
pembangkit. Sebagai upaya pengamanan pasokan gas di sistem kelistrikan Jawa-Bali, PLN akan membangun terminal LNG ukuran sedang sampai besar di Jawa Barat, Jawa Timur dan FSRU Jawa-1.
Selanjutnya akan dikembangkan pula terminal LNG Hub dengan sistem logistik LNG yang terintegrasi dan akan dibangun terminal penerima LNG dan regasifikasi (mini LNG) untuk pasokan gas di pembangkit tersebar di beberapa lokasi di luar Jawa, khususnya di Indonesia Timur.
Sumber pasokan LNG PLN saat ini berasal dari domestik yaitu Kilang LNG Bontang dan Kilang LNG Tangguh, serta secara spot dari Kilang LNG Dongg Senoro. Beberapa tahun ke depan sumber pasokan LNG di Indonesia akan bertambah dengan beroperasinya LNG Wasambo dan LNG Masela. Solusi impor LNG tidak dapat dikesampingkan baik untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga LNG domestik maupun untuk mencukupi kebutuhan pasokanLNG jangka panjang PLN.
Berdasarkan LNG Plant dan tujuan pasokan, maka pasokan LNG untuk PLN adalah sebagai berikut:
LNG Plant : Bontang
Tujuan Pasokan : – FSRU Jawa Barat, untuk pasokan gas ke Pembangkit Muara Karang, Priok, Muara Tawar
– FSRU Benoa untuk pasokan gas ke Pembangkit Pesanggaran
– LNG Trucking Isotank untuk Pembangkit Sambera
– Pembangkit di Sulawesi (Sulawesi Bagian Utara, Tengah, Tenggara dan Selatan)
– Terminal LNG Jawa Timur
LNG Plant : Tangguh (sudah terkontrak)
Tujuan Pasokan : – FSRU Jawa Barat, untuk pasokan gas ke Pembangkit Muara Karang, Priok, Muara Tawar
– Terminal Regasifikasi Arun untuk pembangkit di Aceh dan Sumatera Utara
– FSRU Lampung untuk pembangkit Muara Tawar
– FSRU Jawa 1
– Klaster LNG tersebar di Indonesia Timur
– Terminal LNG Jawa Timur