RUPTL 2021-2030 : Opsi Pengembangan Nuklir, PLTN Small Modular Reactor atau PLT Thorium

Jakarta, Ruang Energi– Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, disebutkan bahwa untuk mencapai sasaran pokok pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM).

Pada RPJM ke-3 (2015-2019), disebutkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang sesuai dengan rencana tata ruang ditandai oleh berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi; terpenuhinya pasokan tenaga listrik yang handal dan efisien sesuai kebutuhan sehingga elektrifikasi rumah tangga dan elektrifikasi perdesaan dapat tercapai, serta mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat.

Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035,
disebutkan bahwa kelangkaan energi telah mulai dirasakan dan untuk menjamin keberlangsungan pembangunan industri diperlukan kebijakan penghematan dan diversifikasi energi serta perhatian yang lebih besar terhadap pengembangan sumber energi terbarukan dan energi nuklir yang murah dan aman.

Berdasarkan pentahapan pembangunan industri dan penetapan industri
prioritas dalam RIPIN, disebutkan bahwa industri Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN) akan dikembangkan pada tahun 2020-2024 dan 2025-2035,
sedangkan industri logam tanah bahan bakar nuklir akan dikembangkan pada
tahun 2025-2035.

Untuk mencapai sasaran pembangunan industri nasional, dilakukan program
pengembangan industri prioritas yang dilaksanakan bersama oleh Pemerintah,
Badan Usaha Milik Negara, dan swasta. Program pengembangan industri prioritas terkait pemanfaatan nuklir antara lain:

Pada periode tahun 2015-2019
−Memfasilitasi penelitian dan pengembangan potensi rare earth elements (REE) sebagai bahan paduan dan bahan baku nuklir.

−Memfasilitasi pendirian pabrik/pusat pengolahan lanjut REE produk
bahan baku nuklir sebagai bahan bakar pembangkit listrik atau bahan penolong beradiasi di industri.

− Mengembangkan rancang bangun fasilitas pembangkit listrik tenaga
nuklir efisien dengan tingkat keselamatan yang tinggi.

Pada periode tahun 2020-2035
−Memfasilitasi pendirian pabrik/pusat pengolahan lanjut REE produk bahan baku nuklir sebagai bahan bakar pembangkit listrik atau bahan penolong beradiasi di industri.

−Mengembangkan fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir efisien dengan teknologi keselamatan yang tinggi.

−Memfasilitasi pembangunan pabrik bahan bakar nuklir dari uranium atau unsur lainnya.

Dalam RIPIN disebutkan bahwa pengembangan, penguasaan dan pemanfaatan teknologi industri bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing dan kemandirian industri nasional.

Penguasaan teknologi dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan industri dalam negeri agar dapat bersaing di pasar dalam negeri dan pasar global. Teknologi rekayasa nuklir (fission) akan dikembangkan pada tahun 2015-2019 dan 2020-2024, sedangkan teknologi rekayasa nuklir (fission fusion) akan dikembangkan pada tahun 2025-2035.

Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan
Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang
Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemanfaatan energi nuklir akan dipertimbangkan setelah pemanfaatan sumber energi baru dan energi terbarukan dimaksimalkan. Memperhatikan potensi energi terbarukan yang cukup besar, maka pemanfaatan energi nuklir merupakan pilihan terakhir.

Dalam KEN dan RUEN, dinyatakan bahwa energi nuklir dimanfaatkan dengan
mempertimbangkan keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi energi baru dan
energi terbarukan sesuai nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.

Setiap pengusahaan instalasi nuklir wajib memperhatikan keselamatan dan risiko kecelakaan serta menanggung seluruh ganti rugi kepada pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat kecelakaan nuklir. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemandirian industri penunjang dan jasa penunjang nasional dalam pemanfaatan energi nuklir.

Penjabaran lebih lanjut energi nuklir sebagai pilihan terakhir akan disusun dalam roadmap implementasi PLTN dengan mempersiapkan aspek teknologi, jenis bahan bakar, lokasi, keselamatan, pendanaan dan kesiapan sumber daya manusia, disertai analisis multi kriteria.

Namun demikian, dalam RUKN 2019-2038 disebutkan dalam upaya mendorong pemanfaatan sumber EBT yang lebih besar untuk penyediaan tenaga listrik, penelitian dan kajian kelayakan merupakan salah salah satu faktor penting yang harus diperhatikan untuk dilaksanakan agar pengembangannya dapat dilakukan secara maksimal. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukannya kajian ataupun studi pemanfaatan energi nuklir dalam penyediaan tenaga listrik.

Dengan pertimbangan beberapa hal: (i) semakin langka dan mahalnya harga energi fosil, (ii) ancaman perubahan iklim global sebagai akibat dari emisikarbon dioksida dari pembakaran batubara atau energi fosil lainnya, sebetulnya telah membuat PLTN menjadi sebuah opsi sumber energi yang sangat menarik untuk ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan listrik di masa depan.

Apalagi apabila biaya proyek, biaya pengelolaan waste dan biaya decommissioning telah menjadi semakin jelas.

Disadari bahwa pengambilan keputusan untuk membangun PLTN tidak sematamata didasarkan pada pertimbangan keekonomian dan profitability, namun juga
pertimbangan lain seperti aspek politik, Kebijakan Energi Nasional (KEN) target
penggunaan EBT paling sedikit 23% pada tahun 2025, penerimaan sosial, budaya, perubahan iklim dan perlindungan lingkungan.

Dengan adanya berbagai aspek yang multi dimensional tersebut, program pembangunan PLTN hanya dapat diputuskan oleh Pemerintah.

Tingginya investasi awal dan panjangnya waktu implementasi dari pembangunan PLTN memerlukan dukungan Pemerintah dalam jangka panjang agar pembangunan PLTN dapat diselesaikan dengan sempurna dan tepat waktu.

Oleh karena itu dalam RUPTL ini PLTN masih merupakan opsi yang dimunculkan untuk mencapai target bauran energi dari EBT sekitar 23% yang implementasinya memerlukan program pembangunan

PLTN yang diputuskan oleh Pemerintah. Untuk itu perlu dilakukan langkah nyata persiapan proyek pembangunan PLTN mengingat sumber energi fosil yang semakin langka dan mempertimbangkan masa pembangunan PLTN yang sangat lama.

Wacana penggunaan thorium sebagai sumber daya energi alternatif dalam pembangkitan listrik di Indonesia sempat menghangat beberapa waktu yang lalu.

Di kalangan masyarakat Indonesia, pembangkit listrik dengan bahan bakar
thorium dipopulerkan dengan istilah Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT).

Di Indonesia dan di berbagai negara belahan dunia, kandungan Thorium lebih
banyak 3-4 kali dibanding uranium. Hal ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa thorium lebih mempunyai prospek di masa depan. Selain itu, 90% bahan bakar thorium akan bereaksi menghasilkan listrik jika dibandingkan dengan uranium yang hanya 3-5 %, sehingga akan menghasilkan
limbah radioaktif yang jauh lebih kecil.

PLTT tidak menghasilkan plutonium
pada proses reaksi nuklirnya, sehingga dapat menjamin tidak disalahgunakan untuk tujuan persenjataan.

Reaktor PLTT bekerja pada tekanan normal (1 atm), sehingga tidak membutuhkan struktur pelindung yang kuat seperti halnya pada PLTN yang tekanannya sekitar 144 atm. PLTT bekerja pada temperatur sekitar
700 OC dibandingkan dengan PLTN yang bekerja pada temperatur sekitar300 OC, sehingga konversi panasnya menjadi listrik jauh lebih besar.

Namun seperti halnya teknologi yang lain, mengubah teori pemanfaatan thorium untuk
energi menjadi sebuah kenyataan membutuhkan waktu yang lama. Penelitian
tersebut sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial. IAEA dalam bukunya Advances in Small Modular Reactor Technology Development (edisi 2016), menyatakan bahwa ada beberapa pengembangan PLTT yang direncanakan
beroperasi komersial sebelum tahun 2025. Sedangkan di Indonesia, PLTT masih memerlukan kajian mengenai kemungkinan pengembangannya.

Salah satu teknologi PLTN yang dapat dipertimbangkan di Indonesia sebagai
negara kepulauan adalah PLTN SMR (Small Modular Reactor), namun masih perlu dikaji lebih lanjut terkait keekonomiannya karena PLTN SMR ini masih belum tersedia secara komersial.

Berbeda dengan PLTN skala besar yang cocok dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang besar seperti di JawaBali dan Sumatera, PLTN SMR lebih cocok untuk dimanfaatkan di kepulauan
Indonesia yang kebutuhan listriknya masih relatif kecil.

Bahkan saat ini di Rusia sudah ada PLTN skala kecil dengan bentuk Floating Power Unit (FPU) 70 MW yang mulai beroperasi pada tahun 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *