RUPTL PLN 2021-2030

RUPTL PLN 2021-2030, Pemerintah Batasi Penggunaan Energi Fosil

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Dalam draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Pemerintah membatasi penggunaan energi fosil.

Selain itu, Pemerintah juga memiliki rencana pengembangan beberapa PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) mulut tambang di Sumatera dan Kalimantan.

Dimana dalam dokumen yang diterima Ruangenergi.com, dijelaskan bahwa pemanfaatan batubara, baik mulut tambang maupun non mulut tambang, untuk pembangkit listrik diatur melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power).

Sementara, Bahan Bakar Minyak (BBM) sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038, penggunaan PLTD BBM dan pembangkit lain yang berbahan bakar minyak harus dikendalikan dan dibatasi secara ketat, yaitu terbatas untuk :

a. Menyediakan pasokan tenaga listrik yang bersifat mendesak dan sementara, seperti penanggulangan jangka pendek daerah krisis penyediaan tenaga listrik.
b. Blackstart.
c. Cadangan untuk kondisi emergency.

Dalam rangka untuk menjamin keberlanjutan dan keamanan pasokan tenaga listrik, maka penggunaan pembangkit tenaga listrik yang bersifat sementara dengan kontrak jangka pendek (1 sampai dengan 5 tahun) juga harus dibatasi dan dikendalikan secara ketat.

Sementara itu, untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM sekaligus meningkatkan pemanfaatan sumber energi terbarukan maka Pemerintah terus mendorong penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai substitusi BBM pada pembangkit tenaga listrik.

Penggunaan BBM untuk pembangkit harus diminimalkan dan terus dibatasi penggunaannya, kecuali daerah 3T (daerah terdepan, terluar dan tertinggal) dan untuk mengatasi daerah krisis penyediaan tenaga listrik jangka pendek.

Penurunan penggunaan BBM untuk pembangkit tenaga listrik sejalan dengan KEN, di mana ditetapkan bahwa pemanfaatan minyak bumi hanya untuk transportasi dan komersial yang belum bisa digantikan dengan energi atau sumber energi lainnya.

Berdasarkan Executive Summary Pemutakhiran Data dan Neraca Sumber Daya Mineral Dan Batubara Status 2019, sumber daya dan cadangan batubara per provinsi di Indonesia tahun 2019, berdasarkan pemutakhiran data tersebut, batubara dimasukkan ke dalam 4 (empat) kualitas klasifikasi, yaitu :

• Batubara kalori rendah (< 5100 kal/gr, adb)
• Batubara kalori sedang (5100-6100 kal/gr, adb)
• Batubara kalori tinggi (6100-7100 kal/gr, adb)
• Batubara kalori sangat tinggi (> 7100 kal/gr, adb)

PLN pada saat ini telah dapat mengelola pasokan batubara dengan lebih baik
dari aspek kecukupan dan kualitas. Strategi yang digunakan oleh PLN untuk
menurunkan BPP dalam penyediaan batubara mengacu pada konsep
pembangunan PLTU batubara yaitu :

a. Pembangunan PLTU batubara di Sumatera dan Kalimantan menganut
prinsip resources base, dimana PLTU ditempatkan lebih banyak di dekat
sumber energi (Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang memiliki cadangan batubara sangat besar). Sehingga PLTU yang dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan diusahakan berjenis PLTU mulut tambang, yang diharapkan dapat menurunkan biaya pokok penyediaan dari pembangkit.

b. Pembangunan PLTU batubara di luar Sumatera dan Kalimantan didasarkan pada prinsip regional balance, dimana PLTU dibangun mendekati pusat beban. Karena tidak ada sumber energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listriknya, maka batubara dikirim dari sumbernya di Kalimantan atau Sumatera dengan mempertimbangkan least cost. Sehingga pembangunan PLTU di luar Sumatera dan Kalimantan berjenis PLTU non mulut tambang.

Dalam RUPTL 2021-2030 ini terdapat rencana pengembangan beberapa PLTU
mulut tambang di Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan batubara, baik mulut tambang maupun non mulut tambang, untuk pembangkit listrik diatur melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power).

Definisi PLTU mulut tambang sesuai peraturan tersebut adalah pembangkit listrik tenaga uap dan pembangkit listrik tenaga gas batubara, yang menggunakan bahan bakar batubara, yang dijamin ketersediaan batubaranya oleh perusahaan tambang sesuai kesepakatan jual beli batubara.

PLTU batubara yang berlokasi di dekat
tambang batubara tersebut tidak mempunyai infrastruktur transportasi yang memungkinkan batubara diangkut ke pasar secara besar-besaran, sehingga batubara di tambang tersebut pada dasarnya menjadi tidak tradable. Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2016, Pembangkit Listrik Mulut Tambang, pada prinsipnya didasarkan pada :

a. Penggunaan batubara yang secara ekonomis lebih layak dipakai untuk
pembangkit tenaga listrik mulut tambang;

b. Ketersediaan batubara yang dijamin oleh perusahaan tambang selama
masa operasi;

c. Lokasi pembangkit berjarak paling jauh 20 (dua puluh) kilometer dari
Wilayah IUP, IUPK, atau PKP2B; dan

d. Tidak memperhitungkan biaya transportasi batubara kecuali biaya
transportasi dari lokasi tambang sampai lokasi fasilitas penyimpanan (stockpile) pembangkit listrik mulut tambang.

PLTU batubara dirancang untuk memikul beban dasar sejalan dengan harga
batubara yang relatif rendah dibandingkan harga bahan bakar fosil lainnya.

Penggunaan teknologi batubara bersih (clean coal technology) seperti ultrasupercritical pada PLTU menjadi perhatian PLN dalam merencanakan PLTU skala besar di pulau Jawa dan Sumatera karena lebih ramah lingkungan.

Untuk menjamin keandalan pasokan batubara dan efisiensi biaya, PLN
mempunyai strategi untuk mampu mengelola mitra pemasok batubara serta jasa angkutan batubara ke seluruh PLTU. Untuk PLTU skala kecil yang lokasinya jauh dari sumber batubara, dibuatkan pola logistik tersendiri yang bertujuan memastikan ketersampaian batubara ke lokasi PLTU tersebut.

Strategi yang dilakukan oleh PLN dalam penyediaan batubara untuk pembangkit
PLN dalam rangka efisiensi Biaya Pokok Penyediaan adalah :

1. Menyelaraskan perencanaan penyediaan batubara dengan kebutuhan pembangkit sesuai dengan lokasi, spesifikasi dan volume.

2. Memetakan sumber-sumber batubara di Kalimantan dan Sumatera yang akan menjadi masukan dalam RUPTL, baik untuk PLTU mulut tambang di Sumatera dan Kalimantan, maupun di luar Sumatera dan Kalimantan.

3. Mengoptimalkan pasokan batubara bagi pembangkit existing dengan mengefisienkan biaya transportasi (least cost).

4. Melakukan kontrak batubara jangka panjang dengan perusahaan tambang besar, serta kontrak jangka pendek dan menengah (1 – 5 tahun) untuk memastikan kecukupan dan fleksibilitas pasokan secara optimum.

5. Menyempurnakan infrastruktur penerimaan batubara di pembangkit agar lebih efisien dan andal.

6. Memperkuat peran dan posisi PLN beserta anak perusahaan untuk menjamin :
a. Security of supply batubara jangka pendek dan jangka panjang.
b. Menjamin biaya penyediaan batubara yang murah.
c. Efisiensi biaya pengangkutan batubara.

7. Meminta Pemerintah melanjutkan kebijakan DMO untuk menjamin pasokan batubara baik dari sisi volume maupun kualitas sesuai kebutuhan PLN.

8. Untuk mengoptimalkan penggunaan batubara lokal, saat ini sedang dikembangkan teknologi pengering batubara/coal upgrading guna meningkatkan efisiensi serta kualitas batubara yang diterima pembangkit.

Selain penugasan ke anak perusahaan, untuk meningkatkan jaminan keandalan pasokan batubara ke PLTU PLN dan PLTU IPP baik secara kualitas, kuantitas dan tepat waktu dengan biaya penyediaan yang efisien, upaya yang dilakukan dalam penyediaan batubara PLTU antara lain :

1. Optimalisasi jarak angkut dan sarana logistik batubara mulai dari loading port sampai dengan PLTU (alat angkut, unloading facility) untuk efisiensi harga transportasi batubara.

Pembentuk harga transportasi batubara terdiri dari 3 faktor, yaitu :

a. Jarak angkut batubara dari tambang batubara ke PLTU
b. Waktu tunggu dan waktu bongkar batubara di PLTU
c. Moda transportasi batubara
Jarak angkut batubara merupakan salah satu faktor penting dalam perhitungan harga batubara. Semakin dekat jarak tambang batubara dengan PLTU maka biaya transportasi batubara semakin murah.

Sebaliknya, dengan semakin jauhnya jarak tambang batubara ke PLTU maka biaya transportasi batubara akan semakin mahal sehingga pemilihan tambang terdekat menjadi salah satu dasar untuk efisiensi harga transportasi batubara. Begitu juga dengan waktu tunggu dan waktu bongkar batubara, semakin cepat proses pembongkaran batubara di PLTU maka biaya transportasi batubara semakin efisien.

Demikian pula untuk moda transportasi batubara, semakin besar kapasitas tongkang/kapal maka biaya transportasi batubara akan semakin murah. Sebaliknya, semakin kecil kapasitas tongkang/kapal, biaya transportasi batubara akan semakin mahal.

Akan tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh usia dan kondisi kapal serta jarak optimal penggunaan jenis moda transportasi. Penggunaan vessel untuk jarak yang jauh, lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan barge atau tongkang sekaligus menjaga kualitas batubara tetap terjamin.

Begitu juga sebaliknya, penggunaan barge atau tongkang lebih efisien untuk jarak yang pendek dibandingkan dengan penggunaan vessel. Selain itu, untuk meningkatkan keandalan pasokan batubara terutama pada daerah-daerah yang memiliki cuaca ekstrim, seperti di Jawa bagian Selatan, maka perlu dibuat kajian terhadap pasokan batubara dengan menggunakan moda transportasi kereta api.

2. Menyiapkan sarana Coal Processing Plant di beberapa lokasi dengan pertimbangan selain untuk jaminan pasokan dan kualitas, juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan batubara yang lebih besar. Coal Processing Plant (CPP) direncanakan akan dilengkapi dengan fasilitas jetty, peralatan bongkar muat, material handling equipment, blending facilities, stockpiling yang memadai serta receiving dan delivery, sehingga dengan adanya Coal Processing Plant (CPP) diperoleh beberapa keuntungan sebagai berikut :

a. Mengoptimalkan jenis transportasi batubara dari sumber ke PLTU dengan menggunakan moda transportasi yang paling efisien, sehingga bisa memperoleh benefit dari kecepatan dan ketepatan waktu, harga angkut dan kualitas batubara yang terjaga.

b. Security of supply dengan adanya CPP yang berfungsi juga sebagai emergency coal storage, terlebih lagi mengantisipasi terhadap permasalahan kendala cuaca pada periode tertentu.

c. Transportasi dengan menggunakan vessel dapat mencegah penurunan quality of supply yang disebabkan lamanya pengangkutan batubara dengan barge dan kontaminasi air laut.

d. Melakukan blending batubara sesuai kebutuhan PLTU dan hanya di satu tempat, sehingga dapat menghemat biaya investasi peralatan blending.

Diperlukannya blending facilities untuk memperbaiki dan menyatukan sifat dan kualitas batubara dari berbagai daerah asal atau dengan jenis yang berbeda, sehingga menghasilkan batubara dengan spesifikasi sesuai persyaratan yang dibutuhkan PLTU.

Biasanya blending dilakukan antara batubara peringkat rendah dan peringkat tinggi, kadar abu tinggi dan abu rendah, kadar sulfur tinggi dan sulfur rendah. Dalam suatu PLTU, sistem blending dapat memberikan banyak keuntungan antara lain :

a. Meningkatkan fleksibilitas sumber tambang dan memperluas rentang spesifikasi batubara yang dapat digunakan pada pembangkit.

b. Mengoptimalkan pemanfaatan potensi batubara di seluruh Indonesia.

3. Melakukan rencana akuisisi tambang batubara terutama di Sumatera dan Kalimantan, sehingga jaminan pasokan atau security of supply batubara ke PLTU PLN dan PLTU IPP menjadi lebih terjamin.