Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com— Pemerintah menyampaikan kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) dan larangan ekspor bijih bauksit menjadi bagian dari strategi besar untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri.
Langkah ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan Asta Cita ke-5 Presiden Prabowo Subianto tentang melanjutkan hilirisasi dan indutrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno menyampaikan HPM ditujukan untuk menciptakan industri pengolahan mineral nasional yang mandiri serta berdaya saing global.
Indonesia perlu memperkuat pengolahan mineral dalam negeri sehingga lebih banyak produk mineral yang mampu menopang pertumbuhan industri manufatur berbasis sumber daya alam ke depan.
“Larangan ekspor dan HPM adalah bagian dari peningkatan nilai tambah mineral. Ini amanat konstitusi, dan bukan kebijakan mendadak. Justru sejak diberlakukan, kita melihat mulai tumbuhnya investasi pada smelter-smelter baru,” kata Tri dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI akhir Mei 2025.
Tri menyoroti Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Kalimantan Barat sebagai contoh nyata dari hilirisasi yang berhasil. Proyek ini dikelola oleh PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), perusahaan patungan antara INALUM dan ANTAM, Anggota Grup MIND ID.
Setelah larangan ekspor bijih bauksit diberlakukan pada Juni 2023, proyek SGAR dipercepat, kini SGAR telah beroperasi dan sukses melakukan pengiriman perdana ke Kuala Tanjung INALUM.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi, menilai kebijakan HPM merupakan instrumen fiskal yang dapat mengarahkan perilaku pelaku usaha untuk berorientasi pada hilirisasi.
“Selama ini ekspor bahan mentah lebih menguntungkan karena margin tinggi dan prosesnya cepat. Dengan HPM dan larangan ekspor, pemerintah menciptakan disinsentif agar pelaku usaha mau berinvestasi ke smelter,” ujarnya.