Jakarta,ruangenergi.com– Serikat Pekerja (SP) SKK Migas pertanyakan kenapa Pemerintah tidak segera menyetorkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) amandemen Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001, Minyak dan Gas Bumi.
Keprihatinan itu bertambah tatkala SP SKK Migas sewaktu bertemu dengan Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) draft amandemen UU Migas tersebut sudah jadi dari sisi DPR.
“Betul kami juga dengar waktu diskusi dengan Baleg DPR dari Fraksi Gerinda dan Golkar dari DPR draftnya sudah jadi malah. Menunggu DIM dari pemerintah tapi gak disetor-setor,” kata Ketua SP SKK Migas Muhammad Arfan kepada ruangenergi.com,Selasa (01/9/2020) di Jakarta.
Pihaknya,lanjut Arfan tidak paham kenapa tidak segera ditindaklanjuti pemerintah, dalam hal ini kementerian terkait.
Padahal dengan banyaknya keputusan MK yang menganulir atau membatalkan beberapa pasal di UU Migas 2001, serta amanah keputusan MK tahun 2012 yang membubarkan BPMIGAS saat itu, dan menyatakan lembaga pengganti BPMIGAS (Skkmigas) sebagai lembaga sementara, sepatutnya revisi UU Migas, termasuk pembentukan badan usaha khusus pengganti BPMIGAS segera diselesaikan.
“Harapan kami, untuk kemandirian energi, mengurangi ketergantungan impor minyak kita, mengundang investor-investor besar masuk, menggairahkan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas kita, menggairahkan penciptaan lapangan kerja di sektor migas dan multiplier efek lainnya, pemerintah dan DPR segera bersepakat untuk menyelesaikan revisi UU Migas, atau lewat Omnibus Law untuk beberapa ketentuan pentingnya, dan juga sebagai amanah keputusan MK 2012,”cetus Arfan.
Dia menpertanyakan kenapa UU Minerba yang bisa sangat cepat diputuskan, kenapa Revisi UU Migas yg sudah lebih lama disuarakan dan diharapkan pelaku usaha migas malah terkesan lambat penyelesaiannya?
“Seperti tidak ada urgensinya, padahal situasi industri saat ini sangat membutuhkan kepastian hukum tersebut, termasuk status lembaga yang mewakili pemerintah melaksanakan kontrak dengan para kontraktor PSC,” kecam dia.
Dia mengingatkan,bukan hanya SP SKK Migas saja yang kecewa, tapi seluruh pelaku usaha, tentu sangat mengharapkan kepastian hukum ini. Revisi UU Migas, atau Omnibus Law terkait subsektor migas, harus segera diselesaikan, sebagai amanah keputusan MK 2012, dan untuk membangkitkan kondisi industri migas kita. Selain aktifitas pemboran, produksi dan cadangan yang turun, yang lebih mengkhawatirkan justru kesempatan kerja di industri ini semakin turun. Dari 2015 sampai saat ini, sekitar 20% – 30% pekerja sudah hilang dari organisasi kerja di Kontraktor PSC.
Angka tersebut lebih besar lagi di sektor pendukung industri migas, seperti perusahaan jasa penunjang pemboran dan operasi perminyakan lainnya. Tren penurunan tersebut berlangsung konstan dari 2015 dan ke depan dimhawatirkan akan berlanjut bila tidak ada perbaikan investasi sektor hulu migas.
“Bagaimana nasib adik-adikmahasiswa yang sudah dan baru lulus dari perguruan tinggi dengan jurusan yang berhubungan erat dengan kegiatan perminyakan tersebut?,” tanya Arfan dengan nada prihatin.