Sistem Kelistrikan di Alih Kelola Rokan Jangan Sampai Rugikan Bangsa

Jakarta, Ruangenergi.com – Blok Migas raksasa penyumbang 25% angka lifting minyak nasional akan segera beralih dari Chevron ke Pertamina pada Agustus 2021 nanti. Ironisya hingga berselang 5 Bulan tersisa, segala persiapan masa transisi untuk alih Kelola blok raksasa penyumbang total minyak mentah sekitar 165 Ribu BOPD ini belum beres dan masih menggantung.

Menurut Direktur Eksekutif EWI, Ferdinand Hutahean, keberhasilan pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengembalikan aset bangsa yang telah dikelola asing selama 50 tahun menyusul Blok Mahakam yang juga telah lebih dulu diambil alih dari Total adalah sebuah kebanggan bangsa.

“Ini harus diperjuangkan dan didukung, jangan sampai sia-sia dan hanya riuh dengan opini tapi harus sukses mensejahterakan bangsa,” kata Ferdinand di Jakarta, Jumat (26/3/2021).

Menurutnya, jalan panjang alih kelola WK Rokan ini harus semulus obrolan manis dan semanis cerita-cerita peningkatan angka lifting nasional yang bahkan ditargetkan ke angka 1 Juta BOPD dengan mengandalkan Blok Rokan sebagai penyumbang utama.

“Banyak kendala yang masih harus dihadapi oleh Pertamina dalam alih kelola ini dan bisa berakibat melesetnya target lifting Rokan, salah satunya adalah kerugian atau inefisiensi besar-besaran akibat sumber daya Listrik yang hingga kini belum jelas,” tukasnya.

Seperti diketahui, Pertamina dengan PLN sudah menandatangani perjanjian tentang suplay kebutuhan Listrik ke Blok Rokan yang diperkirakan membutuhkan sekitar 400 MW. Angka yang cukup besar dan semestinya membawa berkah keuntungan tersendiri bagi PLN.

“Tapi sayang, impian indah dan manis itu tampkanya tak semulus harapan, karena ternyata salah satu Pembangkit Listrik terbesar di Blok Rokan yang berwilayah di Duri Riau yang dikelola oleh PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) tidak turut serta dalam bagian alih Kelola yang harus diserahkan kepada Pertamina sebagai bagian dari keseluruhan aset WK Rokan,” ujarnya.

“Padahal menurut informasi pembangkit listrik yang menyuplai hampir 70% kebutuhan listrik WK Rokan ini adalah milik perusahaan teraviliasi dengan Chevron yang sahamnya dimiliki oleh Chevron Standard Limited sebesar 95% dan perusahaan nasional sebesar 5%,” lanjutnya.

Seharusnya, kata Ferdinand, pembangkit yang berdiri di areal WK Rokan tersebut  turut serta diserahkan dalam bagian alih Kelola. Apalagi selama ini listrik dibayarkan oleh Cost Recovery.

“Dan menjadi pertanyaan yang belum terjawab, apakah biaya maintenance pembangkit tersebut selama ini masuk Cost Recovery? Saya pikir SKK Migas dan BPK harus membuka data soal ini, untuk menghindari sesuatu yang tak sepatutnya terjadi,” tegasnya.

Menurutnya, keberadaan pembangkit  memang sangat vital bagi kelangsungan operasi WK Rokan, tapi semua itu bisa diatasi dengan mensuplay listrik dari sumber kelistrikan Sumatera milik PLN yang saat ini terus mebangun pembangkit listrik.

“Apalagi diperkirakan hanya butuh 2-3 tahun untuk menghubungkan listrik dari sistem kelistrikan PLN Sumatera ke WK Rokan dengan membangun trnasmisi dan gardu induk menggantikan Pembangkit tua WK Rokan yang dikelola MCTN tersebut,” tukasnya.

Ironaisnya, MCTN justru dikabarkan akan menenderkan pengelolaan dan pemilikan pembangkit tersebut dengan nilai value 40 tahun ke depan dan penawar tertinggi akan memenangkan tender.

“Ini bahaya dan akan menjadi ancaman bagi Pertamina untuk mengelola WK Rokan,  WK tersebut bisa berhenti operasi bila harga listrik dari MCTN nanti tak disepakati kedua belah pihak. Ini sesuatu yang serius, bisa disebut dugaan sabotase terhadap peralihan ini,” cetusnya.

Bahaya lainnya, lanjut dia, adalah inefisiensi apabila harga listrik tinggi, sementara sitem pengelolaan WK Rokan dengan SKK Migas adalah system bagi hasil atau gross split. Bukannya untung malah rugi karena harus bayar listrik mahal.

“Saya berharap akan ada solusi cepat dan tepat atas potensi kendala besar ini. Pihak Chevron dan PT MCTN mestinya turut menyerahkan pembangkit tersebut sebagai bagian dari aset yang yang dialihkan,” kata Ferdinand.

“Saya belum menelusuri dasar-dasar hukum tentang beroperasinya pembangkit ini seperti apa dan perijinannya, sehingga belum bisa berkomentar lebih jauh,” lanjutnya.

Tapi setidaknya, kata dia, kalaupun tidak turut diserahkan sebagai bagian aset yang harus dialihkan, sebaiknya pengelolaan pembangkit tersebut tidak ditenderkan oleh PT MCTN tetapi dinegosiasikan langsung B to B dengan PLN untuk masa waktu 3 tahun maksimal sebelum sistem kelistrikan Sumatera milik PLN bisa dihubungkan ke WK Rokan.

“Menurut saya ini jalan terbaik. Selain itu, intervensi dari pemerintah juga tampaknya dibutuhkan dalam hal ini, jangan sampai sumber daya vital seperti ini dijadikan alat menekan Pertamina oleh mafia-mafia untuk mengambil kekayaan dan hasil WK Rokan dari tangan Pertamina yang adalah milik rakyat,” pungkasnya.(SF)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *