Skenario Wujudkan Zero to Emission

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.comMasyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebut peran energi terhadap perubahan iklim sangat berhubungan erat.

Terlebih lagi, Indonesia memiliki target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan dan 41% dengan bantuan internasional, sebagaimana tertuang dalam komitmen Paris Agreement.

“Saya kira, jika merujuk pada Ministerial meeting yang terkait dengan iklim dan energi, sangat jelas targetnya adalah soal dampak perubahan iklim dari sektor energi. Karena itu, peran energi terhadap perubahan iklim pasti akan sangat berhubungan erat,” ungkap Surya Darma, Ketua Umum METI, kepada Ruangenergi.com, (16/07).

Menurutnya, penggunaan energi sangat dipengaruhi dengan salah satu faktor yang berperan besar terhadap perubahan iklim.

“Jika kita lihat upaya berbagai negara saat ini adalah melakukan transisi dari energi berbasis fosil yang sarat emisi karbon ke energi terbarukan yang hampir tidak ada emisi karbon. Jika ditanya apa yang harus disampaikan Indonesia, maka pastilah posisi Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan mewujudkan transisi energi termasuk skenario Net Zero Emision yang harus ditegaskan,” imbuhnya.

Ia menambahkan, termasuk didalamnya adalah upaya apa yang akan dilakukan untuk mewujudkan target transformasi itu dan bagaimana mendapatkan dukungan dalam pembiayaannya.

Lantas apakah Indonesia memiliki kemampuan jika skenario Net Zero Emision 2050 dibuat atau apa konsekuensi jika akan dipenuhi pada tahun 2060.

“Kalau kami dari METI kan sudah menyampaikan inisiatif 50/50 energi terbarukan. Indonesia harus berupaya mencapai 50% energi terbarukan pada tahun 2050. Dan kami dengar, DEN (Dewan Energi Nasional) pun saar ini sedang membahas pembaharuan KEN (Kebijakan Energi Nasional) dan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Jika benar, maka terbuka harapan besar memasukkan skenario transisi energi dan sekaligus inisiatif 50/50 energi terbarukan. Seharusnya Indonesia sudah memiliki strategi menuju kesana,” tandasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Ego Syahrial, menuturkan bahwa transisi energi menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Menurutnya, kehadiran digitalisasi teknologi dan pemanfaatan energi bersih diyakini pemerintah sebagai salah satu faktor pendorong transisi energi terutama dalam menjaga stabilitas sistem kelistrikan dan mengakomodir peningkatan variabel energi bersih.

Ia mengemukakan bahwa digitalisasi teknologi dan modernisasi infrastruktur kelistrikan dapat dilakukan melalui pendekatan Internet Of Things (loT) dengan memanfaatakan jaringan listrik cerdas (smart grid).

Smart grid ini memungkinkan adanya komunikasi antara supply dan demand listrik,” ungkap Ego.

Menurutnya, pengusahaan teknologi dan Engineering Procurement Construction (EPC) jaringan listrik, menjadi infrastruktur utama dalam mengakomodasi volatilitas operasional Variable Renewable Energy (VRE).

Ia menjelaskan, impelementasi smart grid telah masuk sebagai program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024. Saat ini sudah terdapat lima lokasi pengembangan smart grid yang telah dilakukan di Sistem Jawa Bali, yaitu Advance Metering Infrastructure (AMI) untuk pelanggan PLN di Jakarta, Digital Substation Sepatan II, Digital Substation Teluk Naga II, Reliability Efficiency Optimization Center (REOC) pada sistem milik Indonesia Power, serta Remote Engineering, Monitoring, Diagnostic and Optimization Center (REMDOC) pada sistem milik PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).

Kementerian ESDM merespon wacana Super Grid Nusantara, menghubungkan jaringan listrik antarpulau besar serta Papua, Maluku dan Nusa Tenggara, dinilai sebagai solusi potensial guna meningkatkan pengembangan energi terbarukan dengan tetap menjaga kestabilan dan keamanan sistem kelistrikan.

“Dengan adanya super grid memungkinkan setiap wilayah untuk mengimpor dan mengekspor pasokan listrik di saat adanya krisis kekurangan dan kelebihan energi berbasis EBT,” terang Ego.

Dalam rangka meningkatkan investasi EBT, Ego menegaskan, Pemerintah telah memberikan insentif fiskal dan non-fiskal seperti tax allowance, fasilitasi bea masuk, serta tax holiday.

“Kami terus berusaha untuk dapat memberikan bentuk-bentuk insentif dan instrumen keuangan baru dalam meningkatkan minat para investor,” paparnya.

Guna mencapai target-target dalam pembangunan EBT, kata Ego, hal itu membutuhkan regulasi yang dapat memberikan kepastian dan keamanan berusaha.

“Pemerintah sendiri telah membuat Rancangan Peraturan Presiden terkait harga pembelian tenaga listrik EBT dan perbaikan peraturan Menteri ESDM terkait PLTS Atap, serta terus mendorong penyelesaian Rancangan Undang-Undang EBT,” tutupnya.