Jakarta, ruangenergi.com- Beberapa hari ini media diramaikan dengan adanya kelangkaan BBM Solar Subsidi hampir di seluruh wilayah pulau Sumatera seperti di Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Lampung dan beberpa provinsi lain.
Menanggapi hal tersebut, Mamit Setiawan Direktur Executive Energy Watch mengatakan bahwa kelangkaan ini lebih disebabkan karena mulai tumbuhnya perekonomian pasca pembatasan yang kemarin dilakukan karena pandemic Covid19.
“Patut disyukuri bahwa saat ini roda perekonomian kembali tumbuh setelah cukup lama dilakukan pembatasan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan terjadinya permintaan solar subsidi yang cukup signifikan sedangkan disisi lain solar subsidi itu dibatasi oleh kouta yang ditetapkan oleh BPH Migas” ujar Mamit Setiawan dalam keterangan tertulisnya Minggu (17/10/2021).
Disisi lain, Mamit mengatakan bahwa Pertamina dalam hal ini sub holding Pertamina Patra Niaga (PPN) menjaga agar sisa kouta yang ditetapkan oleh Pemerintah dan BPH Migas cukup sampai akhir tahun 2021 ini.
“Pertamina pastinya akan menyesuaikan sisa kouta setiap propinsi agar tidak melebihi batas yang ditentukan. Pertamina tidak bisa serta merta menambah kouta tanpa ada persetujuan ataupun perintah dari Pemerintah dan juga BPH Migas untuk menambah jumlah solar subsidi yang beredar karena terkait dengan penggantian dana subsidi yang diterima oleh Pertamina” terang Mamit
Mamit juga menyampaikan bahwa kritikan harusnya bukan di arahkan kepada Pertamina dalam hal ini Pertamina Patra Niaga, tapi harus diarahkan kepada pemerintah karena tidak ada kecepatan dalam mengambil tindakan akibat kelangkaan solar subsidi ini.
“Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan BPH Migas harus segera bertindak cepat dengan segera menyetujui atau meminta kepada Pertamina menambah kouta solar subsidi dan kelebihan kouta tersebut akan di bayarkan dalam APBN 2022 sehingga tidak menimbulka kepanikan di masyarakat karena kelangkaan ini” jelas Mamit.
Selain itu, Mamit juga menyampaikan bahwa kenaikan harga CPO sepanjang 2021 ini bisa menjadi penyebab ketersediaan stock bbm solar subsidi terganggu. Hal ini disebabkan untuk bbm solar subsidi merupakan program solar B30.
“Kenaikan harga CPO yang melejit sampai 75% jika dibandingkan tahun 2020 ikut mendorong kenaikan harga FAME sebagai bahan campuran B30 ini. Jadi, pemerintah harus membuat regulasi harga atau DMO CPO untuk program biodiesel sehingga tidak menambah beban produksi bagi Pertamina jika harga FAME sedang mengalami kenaikan” ujar Mamit
Mamit juga memberikan usulan saat harga FAME mengalami kenaikan, maka Pertamina bisa diberikan kelonggaran untuk menjual bbm solar subsidi murni tanpa di campur dengan FAME.
“Ini semua demi kelancaran mobilitas kendaraan umum serta demi membantu perekonomian yang sudah mulai tumbuh ini. Jika nanti harga FAME sudah turun, maka Pertamina wajib kembali menjual bbm solar subsidi B30 ke masyarakat”tambahnya
Dia juga menyoroti bahwa sampai saat ini tidak ada aturan yang jelas mengenai siapa saja yang berhak untuk menggunakan BBM Solar Subsidi ini. Hal ini yang menyebabkan kouta solar subsidi melonjak dari batas yang ditentukan.
Para pengusaha tambang, pengusaha perkebunan, mobil pribadi yang mewah semua bisa membeli solar subsidi tanpa ada larangan yang jelas. Hanya saja dibatasi maksimal 30 liter per hari per kendaraan.
“Ini jelas salah, Harusnya solar subsidi itu untuk angkutan umum, angkutan sembako dan juga angkutan lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah harus mengevaluasi terkait dengan tidak adanya pembatasan pengguna solar subsidi ini,” Pungkas Mamit Setiawan.