Presdir PT Vale Indonesia

Strategi Vale Mengurangi Emisi Karbon Dukung Komitmen Paris

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com PT Vale Indonesia Tbk, (PT Vale) mengungkapkan bahwa pihaknya sangat berkomitmen terhadap pencapaian target emisi karbon yang tengah dijalani Pemerintah sebagaimana tercantum dalam komitmen Paris Agreement.

“Trend dunia saat ini melaksanakan pengurangan emisi karbon. Nikel dan mineral-mineral kritis lainnya itu mempunyai peran yang luar biasa, karena kita adalah solusi bagi perubahan iklim itu,” kata Chief Executive Officer (CEO) & Presiden Direktur PT Vale Indonesia, Febriany Eddy, dalam sebuah webinar Minerals for Renewable Energy (Green/Clean Energy), 76 th Pertambangan dan Energi, (16/09).

Dia menjelaskan, jika nanti di 2040 karbon netral, Indonesia harus menjaga suhu bumi tidak naik di atas 2%, maka harus mengurangi sebesar 17.000 juta ton carbon Equivalen (CO2eq). Di mana, sebagian besar dari dekarbonasi ini akan terjadi dari konversi minyak, gas dan batubara ke energi terbarukan dan elektrifikasi transportasi.

Sebagaimana diketahui, sektor transportasi memegang peranan penting dalam penurunan emisi karbon, di mana 25% karbon emisi itu dihasilkan dari sektor transportasi.

“Mengapa nikel penting dalam penurunan emisi karbon?. Jika bicara elektrifikasi transportasi, nikel ini sangat seksi, mengapa demikian. Karena salah satu penyebab produksi mobil listrik tidak bisa massif seperti fuel adalah karena mahalnya komponen yang ada di mobil listrik yakni baterai. Sebab, sepertiga dari harga mobil listrik itu yang paling mahal adalah baterainya,” ungkapnya.

Untuk itu, dirinya mengungkapkan bahwa solusi efektif dan efisien untuk baterai yaitu akan mendorong perkembangan mobil listrik yang jauh lebih massif lagi.

“Nikel adalah metal yang unik. Karena nikel itu yang meng-cover Energy Density paling tinggi, atau nikel bisa menyimpan energi paling banyak daripada mineral lainnya. Jadi dari sisi performance nikel lebih unggul dari mineral lain,” tutur wanita kelahiran Palembang, Sumatera Selatan itu.

“Kalau kita lihat dulu EV (electric vehicle) itu hanya bisa menyimpan energi dengan jarak tempuh 200 km, lalu kemudian harus di charge lagi. Kalau sekarang EV itu sudah bisa mencapai jarak 500-600 km, untuk kemudian dilakukan charge kembali. Artinya nikel berperan sangat penting dari sisi performance, selanjutnya karena Density nya tinggi penggunaan nikel lebih sedikit, sehingga berat baterainya pun lebih ringan dibanding dengan produk lain, sehingga dapat mendorong EV jauh lebih baik,” sambungnya menjelaskan.

Menurutnya, dalam perkembangan teknologi ke arah Energi Baru Terbarukan (EBT) tentunya memerlukan storage system (sistem penyimpanan energi) yang cukup dalam hal ini baterai, dan nikel sendiri memiliki peranan penting terhadap baterai. Nikel untuk baterai diprediksi akan meningkat 20-40 kali lipat dan menyumbang sekitar 37% dari permintaan nikel di tahun 2030.

Dari data yang dimilikinya, pada 2018 sebesar 38 ribu ton nikel yang dihasilkan diolah untuk menjadi baterai. Kemudian, dalam tiga tahun hingga saat ini penggunaan nikel untuk menjadi baterai meningkat pesat dikisaran 200-300 ribu ton.

Artinya kebutuhan terhadap nikel meningkat sekitar 6 kali lipat untuk dihasilkan menjadi baterai, seiring dengan perkembangan mobil listrik. Tentunya, kebutuhan akan nikel kedepan akan terus mengalami kenaikan.

“Di prediksi pada 2030 permintaan nikel akan mengalami kenaikan menjadi 1,7 juta ton untuk diolah menjadi baterai. Ini adalah potensi yang luar biasa bagi pengembangan nikel di kemudian hari,” bebernya.

PT Vale

Bicara EV, katanya, itu ada satu rangkaian yang panjang, karena EV adalah bagian dari solusi perubahan iklim dan seluruh rantai prosesnya harus ramah lingkungan.

“Dari mulai pertambangannya sampai ke baterai dan ke auto industrinya sendiri. Kalau industri mobil listrik ini ramah lingkungan, maka seluruh rantai pasoknya pun harus ramah lingkungan, sebab jika tidak eksistensi dari industri EV itu sendiri akan dipertanyakan,” ungkap Febriany.

Dia mengungkapkan, Vale sendiri posisinya hanya di mining upstream dan processing nikel. Di mana, izin usaha yang dimilikinya hanya berfokus di sektor pertambangan dan processing nikel. Meski bergerak di pertambangan, lanjutnya, PT Vale harus betul-betul harus ramah lingkungan.

“Banyak yang tanya, apakah Vale akan memproduksi baterai, kami jawab izin usaha kami berfokus pada penambangan dan processing nikel di upstream,” terangnya.

Dukung Peningkatan EBT

Dikatakan olehnya, PT Vale Indonesia sudah 52 tahun beroperasi dan sangat mendukung peningkatan EBT melalui praktik pertambangan yang berkelanjutan.

“Salah satu misinya adalah keberlanjutan, kami ada dalam bertransformasi sumber daya mineral untuk membawa kemakmuran bersama pembangunan berkelanjutan. Indikator keberhasilan perusahaan bukan hanya dari finansial, tapi aspek keberlanjutan,” jelasnya.

Adapun yang telah dilakukan oleh PT Vale dalam meningkatkan penggunaan EBT yakni telah membangun dan mengoperasikan 3 Unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas sebesar 365 Megawatt (MW) dan berkontribusi terhadap 36% total energi yang dibutuhkan perusahaan untuk beroperasi. Pasalnya, pengoperasian 3 PLTA ini mampu mengurangi emisi CO2 lebih dari 1 juta ton CO2eq setiap tahun.

“Ini komitmen kita menggunakan energi ramah lingkungan, PLTA Pertama di bangun tahun 1978, PLTA Kedua dibangun di akhir tahun 1999, dan PLTA Ketiga dibangun 2011. Kalau tidak ada PLTA ini emisi karbon kami bisa 1 juta ton lebih tinggi, artinya kehadiran PLTA sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi emisi karbon,” paparnya.

PLTA PT Vale

Ia menjelaskan, PLTA berfungsi sebagai pemasok tenaga listrik untuk mengoperasikan furnace alias tahap tanur peleburan dan pengolahan bijih nikel di pusat pengolahan (process plant).

Selain itu, masing-masing PLTA memproduksi daya listrik sebesar 165 MW untuk Larona, 110 MW untuk Balambano, dan 90 MW untuk Karebbe.

Selain itu, PT Vale juga membatalkan proyek konversi batubara meskipun menjanjikan penambahan keuntungan sekitar US$ 40 juta/tahun. Hal itu dilakukan demi menghindari peningkatan emisi sebesar 200 ribu ton CO2eq per tahun.

“Dengan berat hati kami cancel project ini (konversi batubara) karena kami mendukung Komitmen Paris Agreement. Jadi bukan hanya Pemerintah Indonesia, tapi secara korporasi PT Vale sangat berkomitmen dalam perjanjian Paris, di mana tahun 2030 kami akan mengurangi emisi karbon minimum sepertiga (30%) dan 2050 mencapai karbon netral,” imbuhnya.

Ia menambahkan bahwa PT Vale juga sudah melakukan signing agreement dengan partner Tiongkok untuk membangun pabrik Bahadopi dengan energi gas bumi. Di mana pabrik ini adalah pabrik nikel dengan emisi karbon per ton nikel terendah kedua setelah Sorowako yang menggunakan PLTA.

Tak hanya itu, upaya melakukan reklamasi pasca tambang, pihaknya juga melakukan pembibitan di lahan seluas 2,5 ha di Sorowako, Sulawesi Selatan, dengan menghasilkan sebanyak 700.000 bibit per tahun untuk merehabilitasi 100 ha area pasca tambang.

“Ini merupakan komitmen PT Vale terhadap rehabilitasi lahan dan keanekaragaman hayati. Tercatat pada 2020 sebesar 176.24 ha total area yang telah direhabilitasi, dan sebesar 30,021.44 ha total area yang direklamasi. Di mana terdapat sebanyak 24,022 pohon eboni yang ditanam atau 40% adanya penambahan komposisi spesies pohon pionir untuk aktivitas revegetasi,” tuturnya kembali.

Syukur Alhamdulillah, sampai saat ini praktik rehabilitasi kami masih diakui diantara yang terbaik di Indonesia. Kami cukup berbangga bisa sharing semoga banyak lagi penambang-penambang lain akan ikut dalam perjalanan ini (rehabilitasi pasca tambang),” ungkapnya.

There is no future without mining, and there can be no mining without caring about future (tidak ada masa depan tanpa mining, tetapi disatu sisi jika mining tidak memperhatikan masa depan eksistensi dari mining juga tidak ada,” tutupnya.

Sebelumnya, dalam sambutan pembukaan diskusi Mineral For Energy, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, mengatakan bahwa Indonesia memiliki tanggung jawab moral terhadap komunitas global dalam pengembangan energi bersih dengan ikut menandatangani Paris Agreement dan turut meratifikasinya.

Pada industri Mineral dan Batubara (Minerba), di mana pemerintah tengah berupaya melakukan hilirisasi minerba.

Menurutnya, industri minerba kini tengah menuju arah yang sama, yakni berupaya untuk menjadi industri energi yang bersih dan ramah lingkungan.

“Artinya, ketika kita bicara mengenai mineral untuk energi bersih, itu adalah sebuah langkah yang sejalan dengan upaya kita untuk menghasilkan energi yang baru dari yang selama ini digunakan sebagai bahan baku energi,” jelas Ridwan.

Ia mengatakan, mineral-mineral tersebut nantinya akan digunakan dalam banyak komponen dan industri, di antaranya untuk infrastruktur, trasnportasi publik, industri baterai, serta membangun infrastruktur energi baru dan terbarukan lainnya. Maka dari itu, diperlukan eksplorasi masif di tengah tantangan geografis yang dimiliki Indonesia.

“Kita akan mendorong eksplorasi yang lebih masif untuk mendapatkan sumber-sumber bahan baku yang lebih baik, yang secara teoritik ada di Indonesia. Namun tantangan kita, sebagaimana saat kita mengekplorasi sumber-sumber mineral yang lain, dengan konfigurasi geologi di Indonesia, eksplorasi kita tidak bisa sepenuhnya meniru apa yang dilakukan oleh negara lain, sehingga kita belum melakukan pendalaman yang sesuai dengan konfigurasi Indonesia,” tutupnya.