Tak Ada Lagi Emisi Gratis: Pemerintah Siapkan Instrumen Pajak dan Perdagangan untuk Pelaku Usaha di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com– Indonesia secara resmi memasuki babak baru dalam perang melawan perubahan iklim sekaligus membuka keran ekonomi hijau. Melalui langkah tegas, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.

Ditetapkan pada 10 Oktober 2025, regulasi ini menjadi landasan hukum paling mutakhir bagi Indonesia untuk memberikan “harga” pada setiap emisi karbon yang dihasilkan, mengubah polusi menjadi potensi ekonomi yang dapat diperjualbelikan. Perpres ini sekaligus mencabut dan menggantikan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dan masyarakat.

“Pemanasan global yang semakin meningkat… mengancam kelangsungan perikehidupan manusia,” demikian salah satu pertimbangan dalam Perpres tersebut, menggarisbawahi urgensi di balik penerbitan aturan main baru ini.

Apa Saja Instrumen Andalannya?

Perpres ini tidak main-main. Pemerintah menyiapkan tiga instrumen utama untuk “menghargai” karbon dan mengendalikan emisi demi mencapai target komitmen iklim global atau Nationally Determined Contribution (NDC). Ketiga instrumen tersebut adalah

  1. Perdagangan Karbon: Inilah primadona dari Perpres ini. Mekanisme berbasis pasar ini memungkinkan jual beli “Unit Karbon”. Perusahaan yang berhasil menekan emisi di bawah batas yang ditetapkan bisa menjual surplus kuotanya ke perusahaan lain yang emisinya berlebih. Transaksi ini akan dicatat melalui Bursa Karbon atau perdagangan langsung.
  2. Pembayaran Berbasis Kinerja: Pemerintah akan memberikan insentif atau pembayaran bagi kementerian, pemerintah daerah, atau pelaku usaha yang berhasil mencapai target pengurangan emisi yang telah diverifikasi. Prestasi menekan emisi kini akan diganjar imbalan.
  3. Pungutan Atas Karbon: Siap-siap, bagi kegiatan usaha yang menghasilkan emisi karbon tinggi akan dikenakan pungutan oleh negara. Pungutan ini bisa dalam bentuk pajak, kepabeanan, cukai, atau pungutan negara lainnya.

Aturan Main Bagi Pelaku Usaha

Dengan berlakunya Perpres ini, para pelaku usaha menjadi salah satu aktor kunci. Mereka yang industrinya masuk dalam kategori “Instalasi yang Diatur” wajib mengikuti mekanisme Perdagangan Emisi. Setiap instalasi akan mendapatkan “Kuota Emisi GRK”, yaitu batas jumlah emisi yang boleh dilepaskan ke atmosfer. Jika emisi melampaui kuota, perusahaan tersebut harus membeli kuota tambahan dari perusahaan lain atau membeli “Offset Emisi GRK” dari proyek-proyek mitigasi iklim. Jika masih melampaui batas, mereka wajib membayar pajak karbon.

Sebaliknya, usaha atau kegiatan yang tidak diwajibkan namun berhasil melakukan aksi mitigasi dan mengurangi emisi, bisa menjual “Unit Karbon” mereka sebagai offset, membuka peluang pendapatan baru dari aksi ramah lingkungan.

Komite Pengarah Lintas Sektor Dibentuk

Untuk memastikan orkestrasi kebijakan ini berjalan mulus, Presiden membentuk sebuah komite pengarah lintas kementerian. Diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan , komite ini beranggotakan jajaran menteri kunci seperti Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Keuangan, Menteri Energi, Menteri Kehutanan, dan belasan menteri lainnya.

Komite ini bertugas memberikan arah kebijakan dan memimpin koordinasi untuk memastikan seluruh program berjalan sesuai rel demi tercapainya target NDC Indonesia.

Penerbitan Perpres 110 Tahun 2025 ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia tidak hanya serius menangani dampak perubahan iklim, tetapi juga cerdas melihat peluang ekonomi di baliknya. Era di mana emisi karbon tak lagi gratis kini telah resmi dimulai.