Terbitnya Perpres No.112 Tahun 2022 Memberikan Kepastian Hukum Dalam Tarif ET

Jakarta,ruangenergi.com-Akhirnya Perpres tentang percepatan pengembangan ET di setujui dan diterbitkan oleh Presiden melalui Perpres No.112 Tahun 2022 pada 13 September 2022 yang lalu.

Ada yang menggembirakan dalam Perpres ini yaitu ada kepastian hukum dalam tarif ET untuk kapasitas tertentu walaupun untuk kapasitas lainnya masih harus menghadapi tantangan karena tarifnya masih mengacu kepada harga sesuai dengan kesepakatan.

Tarif kesepakatan inilah yang akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakpastian usaha dalam pengembangan ET karena tidak bisa diperhitungkan dan tidak bisa diperkirakan berapa lama negosiasi tarif ini bisa diselesaikan. Terutama untuk panas bumi karena dengan tarif yang dimunculkan dalam Perpres kelihatannya sampai saat ini masih sangat tidak memberikan keekonomian yang diharapkan.

Namun peluangnya tetap ada melalui tarif kesepakatan. Seharusnya akan sangat baik jika dimunculkan FIT, feed in tariff. Tetapi disisi lain, Perpres ini ada juga yang menggembirakan karena ET mendapat prioritas yang wajib dibeli oleh PLN. Demikian juga halnya dengan coal phase out yang memberikan payung hukum utk bisa dilaksanakan dan secara perlahan digantikan oleh ET. Tidak ada peran energi baru yang berasal dari energi fosil kecuali energi baru yang berasal dari sumber daya ET seperti green hydrogen dan lain-lain.

Khusus untuk batubara, ada perintah untuk mengurangi penggunaan batubara secara tepat melalui peta jalan yang harus dibuat oleh Menteri ESDM. Coba lihat pada Pasal 3 Ayat 1 Perpres tersebut yang menyebutkan, dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.

Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan, penyusunan peta jalan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.

Pada Ayat 3 tertulis, peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit memuat (a) pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, (b) strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, dan (c) keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya. Sedangkan pelarangan pengembangan batubara dituangkan dalam ayat 4 yang berbunyi, pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk (a) PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini, atau (b) PLTU yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional

2. Berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 1O (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan, dan

3. Beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
Berikutnya, pada Ayat 5 disebut bahwa, dalam upaya meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi listrik, PT PLN (Persero) melakukan percepatan pengakhiran waktu (a) operasi PLTU milik sendiri, dan/atau (b) kontrak Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) PLTU yang dikembangkan oleh Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik.
Hal ini semuanya menunjukkan bahwa batubara mulai dikurangi dan dihentikan pembangunannya.

surya darma metiDr. Surya Darma
– Pengamat Kebijakan Publik Energi Terbarukan
– Ketua Komite Energi Terbarukan DPN APINDO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *