Jakarta, Ruangenergi.com – Sebagai negara nett importir minyak bumi baik itu minyak mentah maupun produk, maka melemahnya mata uang rupiah terhadap dolar tentu akan sangat mempengaruhi biaya pokok produksi bahan bakar minyak (BBM).
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan kepada Ruangenergi.com di Jakarta, Sabtu (22/10/2022).
Menurut Mamit, selain mata uang rupiah yang terpuruk, hal itu juga didukung oleh kondisi harga minyak dunia yang saat ini cendrung mengalami kenaikan. Sehingga bisa dipastikan beban biaya BBM per liter akan mengalami kenaikan termasuk Pertalite.
“Namun untuk harga BBM JBKP dan JBT saya kira tidak akan mengalami kenaikan mengingat kebijkan harga ada di pemerintah, apalagi BBM jenis tersebut baru saja mengalami penyesuaian,” kata Mamit.
“Pemerintah juga saya kira akan menjaga daya beli masyarakat dan perekonomian nasional di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian seperti saat ini,” sambungnya,
Hanya saja, kata dia, untuk BBM umum sepertinya bulan depan akan ada penyesuaian karena naiknya harga minyak dunia dan melemahnya kurs mata uang rupiah.
“Hal ini sesuai dengan formula dalam Keputusan Menteri ESDM No 62/2020,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif memberi bocoran soal harga BBM jenis Pertalite pada bulan depan, saat nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah hingga ke level Rp 15.500 per USD. Melemahnya nilai tukar Rupiah bisa memengaruhi harga BBM karena Indonesia merupakan importir minyak.
Menurut Arifin, harga BBM dipengaruhi banyak hal, termasuk harga minyak dunia. Namun demikian, untuk harga jual BBM Pertalite di November 2022 tidak akan naik
“Enggak,” kata Menteri ESDM saat ditanya kemungkinan harga BBM pertalite naik di Kementerian ESDM, Jumat (21/10/2022).
Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa harga BBM ini sangat dipengaruhi oleh situasi global penuh ketidakpastian yang juga berdampak pada harga minyak dunia. Beberapa waktu lalu harga minyak sempat turun ke USD 84 per barel, namun naik lagi ke USD 94 per barel.
“Karena konflik ini belum berakhir dan sesudah konflik ini berakhir belum tentu normal. Kalau orang enggak mampu beli, pom bensin pasti kosong. Di Eropa juga kan pada kosong, makanya kita harus bisa mempercepat konversi energi. Di kita kan konsumsi terbanyak di sektor transportasi,” tutupnya.(SF)