Tetap Minta Pengembangan Kilang Darat di Blok Masela, Ini Tiga Tuntutan Rakyat Maluku ke Pemerintah Pusat

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Archipelago Solidarity Foundation, yang juga Tokoh Maluku, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina menegaskan, bahwa pengembangan kilang darat Blok Masela tidak bisa ditawar-tawar, karena hal itu bisa menjadi big push (dorongan besar) pertumbuhan ekonomi di Maluku.

Hal ini disampaikannya dalam paparan pada diskusi bertajuk “Maluku, Episentrum Pertumbuhan Ekonomi Nasional” yang digagas Archipelago Solidarity Foundation di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura, Ambon, Rabu (7/2/2024).

Menurut Engelina, hanya dengan big push seperti kilang darat Blok Masela yang bisa mengeluarkan Maluku dari ketertinggalan dan kemiskinan. Pasalnya, kilang darat itu akan memungkinkan berkembangan industri petrokimia di Maluku.

“Jangan sampai kita mengulang kesalahan dengan pengembangan semua sumber daya alam Maluku, tetapi tidak ada satupun industri di Maluku. Kita harus belajar dari pengalaman Bula, yang meskipun daerah penghasil tetapi terjebak dalam kemiskinan. Semua itu karena salah kelola sumber kekayaan alam,” kata Engelina dalam paparannya yang dikutip di Jakarta, Kamis..

Lebih jauh Engelina mengatakan, pengelolaan Blok Masela saat ini terdiri dari Inpex, Pertamina dan Petronas. Dengan formasi baru ini, jelas Engelina, ada upaya pemerintah untuk mengelola gas Masela dengan kombinasi darat dan laut. Pengelolaan seperti ini wajib ditolak, karena hanya soal waktu. Misalnya, dengan alasan efesiensi, pada akhirnya gas Masela akan dikelola dengan sistem terapung.

“Jangan kita mudah percaya perubahan seperti ini. Dari darat saja mereka pindahkan ke laut, apalagi sekadar mengalihkan seluruhnya ke laut. Untuk itu, kita semua harus bersama-sama mengawal hal ini,” tegas Engelina.

Mantan Anggota DPR/MPR ini juga mengingatkan, praktik yang terjadi di Blok Tangguh Papua, mestinya menjadi pelajaran penting, dimana gas hanya diangkut keluar tanpa ada industri apapun di Papua yang memanfaatkan keberadaan gas.

“Ini tidak boleh terulang di Blok Masela, sehingga kita patut memikirkan keberadaan aneka industri di Maluku yang harus menjadi penghasil produk akhir, bukan pembeli produk akhir,” cetusnya.

Petisi Rakyat
Terkait rencana pemerintah mengembangkan kilang darat dan laut ini, lanjut Engelina, pihaknya sudah menggalang petisi rakyat Maluku dan mendapat dukungan yang cukup luas. Petisi itu merupakan tuntutan kepada pemerintah yang berisi tiga poin utama.

“Dukungan tanda tangan fisik terhadap petisi rakyat ini membuktikan, kalau rakyat akan terus mengawal keberadaan kilang darat, dan secara tegas menolak adanya kombinasi darat dan laut,” tukasnya.

Dia menambahkan, tuntutan pengembangan kilang darat ini sebenarnya sejalan dengan semangat hilirisasi pemerintah, sehingga sangat aneh kalau ada para pejabat pemerintah di akhir masa jabatan ini yang coba-coba bermain dalam pengembangan kilang Blok Masela.

“Kita perlu mengingatkan kepada pemerintah, agar jangan main-main, karena komitmen pemerintah membangun kilang darat merupakan pengetahuan umum di Maluku, sehingga perubahan yang dilakukan dengan mengabaikan kepentingan Maluku, tentu akan melahirkan pro dan kontra yang tidak berkesudahan. Hal itu, juga tidak baik dalam pengembangan investasi,” papar Engelina.

Lebih jauh ia mengatakan, tuntutan pengembangan kilang darat merupakan hal wajar, karena rakyat Maluku juga berhak untuk menikmati kesejahteraan sesuai dengan kekayaan sumber daya alam yang ada. Maluku tidak menuntut kekayaan dari daerah lain.

“Sangat ironis kalau kekayaan dari Maluku dibawa ke berbgai tempat untuk memperbaiki kesejahteraan daerah lain, sementara Maluku sebagai sumber kekayaan alam justru dibiarkan dalam kemiskinan,” ujarnya.

Engelina menambahkan, sesuai data dari SKK Migas, investasi Blok Masela mencapai Rp 324 triliun. Perkiraan pendapatan pemerintah dari Blok Masela itu sangat besar sekitar Rp 586 triliun. Sementara yang dibagikan ke Maluku hanya 15, 5 %, sebesar sekitar Rp 39 Triliun.

“Untuk itu, Pemerintah harus berlaku adil, karena Maluku merupakan daerah yang tertinggal dan terjebak dalam kemiskinan. Blok Masela harus menjadi big push bagi Maluku untuk keluar dari kemiskinan,” kata Engelina.

Menurutnya, dengan keberadaan kilang darat, maka akan memungkinkan tumbuhnya industri yang berbahan gas di Maluku. Dengan industri ini, tentu akan membawa dampak ekonomi yang sangat besar, termasuk membuka lapangan kerja yang sangat besar.

“Artinya, dengan jumlah penduduk Maluku yang tidak terlalu besar dan keberadaan industry di Maluku, maka sebenarnya lebih dari cukup bagi Maluku untuk keluar dari kemiskinan,” tukasnya.

Hanya saja, lanjut Engelina, ada sebagian elit yang berpuas dengan pertumbuhan ekonomi sekadar persentase, tetapi sebenarnya tidak mengubah apapun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berdampak apa-apa, jika volume PDRB-nya kecil. Volume PDRB Maluku itu sangat kecil kalau dibandingkan dengan daerah lain, sehingga angka pertumbuhan hanya sekadar klaim prestasi, tetapi tidak akan mengangkat ekonomi rakyat.

“Distribusi pendapatan di Indonesia sangat jomplang antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jadi, selagi regulasi mengenai hal ini tidak diubah, maka Maluku akan tetap berada dalam kemiskinan. Sebab memang sistem telah menyulitkan Maluku keluar dari kemiskinan, karena adanya praktik ketidakadilan,” pungkasnya.

Sementara deklarasi Petisi Rakyat Maluku yang dibacakan Aktivis Maluku Rais Mahu, SH berisi tiga tuntutan.

Pertama, Presiden Republik Indonesia diminta terus dan konsisten dengan komitmen untuk mengembangkan kilang Blok Masela 100 persen di darat, sesuai dengan Keputusan Presiden Joko Widodo pada 23 Maret 2016 dan penegasan kembali ketika meresmikan Jembatan Merah Putih di Ambon pada 4 April 2016. Sebab, keputusan itu tidak mengenal kombinasi kilang darat dan laut, apalagi dikembalikan ke laut.

Kedua, Pemerintah dalam hal ini, stakeholder yang berkaitan dengan industrialisasi Migas untuk memastikan adanya industri yang hendak dikembangkan dan dibangun di Maluku dan bukan di tempat lain, sebagai bagian dari upaya hilirisasi gas Blok Masela, termasuk industrialisasi untuk sumber daya alam lainnya, seperti minyak, nikel, dan mineral lainnya, termasuk industrialisasi perikanan dan lainnya di Maluku. Pemerintah harus memastikan pengelolaan semua SDA di Maluku, sehingga bisa memutus mata rantai kemiskinan yang ada.

Ketiga, Pemerintah harus memastikan perlindungan atas hak masyarakat adat Maluku, baik ruang lingkungan darat maupun laut, baik melalui regulasi, terutama dalam implementasi nyata di lapangan. Masyarakat adat tidak harus digusur dari ruang lingkungan dan tanah leluhurnya untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat di bagian lain dunia.

Diskusi yang dibuka Rektor Universitas Pattimura Ambon, Prof. Freddy Leiwakabessy ini juga dihadiri berbagai kalangan, seperti Mantan Rektor Unpatti Prof. Dr. J.M. Saptenno, Prof. John Riri, Prof.  Non Sahusilawane, Dr. Manaf Tubaka (Moderator), Mus Uneputty, Vecki Sabarlele, Dr. Ida Hehanussa, para akitivis HMI, Kohati, tokoh masyarakat KKT dan MBD, guru-guru, kalangan akademisi, aktivis pemuda dari berbagai organisasi pemuda, aktivis buruh, tokoh agama, tokoh masyarakat dan sebagainya.

Pada kesempatan itu, berbagai elemen rakyat di Maluku juga mengingatkan pemerintah pusat menjaga komitmen politik untuk mengembangkan kilang darat Blok Masela (onshore). Hal itu sesuai dengan komitmen pemerintah yang disampaikan Presiden Jokowi pada 23 Maret 2016 di Bandara Supadio, Kalimantan Barat.(SF)