Tri Mumpuni: Biarkan Wacana Ekspor Energi Baru Terbarukan Tetap Ada

Jakarta,ruangenergi.com– Tokoh energi baru energi terbarukan (EBET) Tri Mumpuni menyikapi adanya larangan ekspor listrik dari energi baru terbarukan (EBT) yang akan ditetapkan pada akhir Juli 2022 oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.

Tri Mumpuni yang saat ini duduk sebagai Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia periode kepengurusan 2022-2025, bertanya kenapa dilarang ekspor listrik EBT tersebut? Apakah kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi?

“Sepanjang itu melewati laut Indonesia sebaiknya Indonesia mendapat benefit. Perlu tripartite meeting
Biarkan wacana ekspor EBT tetap ada. Harusnya Bahlil tidak perlu ngomong sekarang. Untuk sampai COD, EBT itu perlu waktu bertahun tahun. Saya kira kondisi kita over supply itu sifatnya sementara,” kata Tri Mumpuni kepada ruangenergi.com beberapa waktu lalu,di Jakarta.

Sebelumnya,keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia untuk melarang ekspor listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT) mendapat tanggapan dari Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan.

Kepada ruangenergi.com, Mamit mengatakan bahwa terkait rencana impor listrik yang berasal dari EBT ke Singapore melihatnya dari dua kepentingan yang berbeda.

Pertama, bahwa Indonesia mempunyai target bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025, mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 sesuai dengan komitemen Nationally Determined Contribution(NDC) dan Net Zero Emission (NZE) pada 2060 yang akan datang. Dengan demikian pengembangan EBT adalah suatu keniscayaan dengan berbagai macam target dan komitmen yang ditetapkan.

Kedua, kondisi saat ini listrik Jawa-Sumatera masih over supply karena konsumsi listrik yang masih kurang pasca pandemik covid19. Belum lagi akan beroperasinya PLTU Batang,PLTU Tanjung Jati B, PLTGU Jawa 1 yang menambah beban listrik PLN. Apalagi skema yang digunakan adalah take or pay (TOP) yang semakin menekan keuangan PLN di tengah tingkat konsumsi listrik yang belum normal.

“Melihat dua kondisi tersebut, saya kira kita mesti berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait ekspor listrik dari EBT ke Singapore ini. Saya melihatnya bahwa ditengah target bauran energi dan NDC tersebut alangkah lebih baiknya jika listrik tersebut tetap di gunakan untuk kepentingan dalam negeri. Dengan demikian, kita bisa berkomitmen dan tetap on stream dalam menuju penggunaan energi yang bersih sesuai dengan road map yang ada. PLN bisa menjual sertifikat Renewable Energy Certificate (REC) karena telah berhasil menggunakan energi bersih. Apalagi saat karbon tax dan karbon trading di berlakukan.
Sementara itu, ditengah kondisi oversupply seperti saat ini pemerintah harus membantu PLN dalam meningkatkan penjualan listrik dengan menciptakan kawasan industri baru dan kawasan bisnis baru,” pungkas Mamit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *