Universitas Pertamina Gelar Simposium Internasional Bahas Blue Carbon

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta,ruangenergi.com-Simposium Internasional yang membawakan tema “The Role of Blue Carbon in REDD+ and NDC” yang diselenggarakan oleh Pertamina Foundation bekerja sama dengan Universitas Pertamina dan ECADIN pada tanggal 19 Desember 2022.

Rektor Universitas Pertamina Prof IGN Wiratmaja Puja, PhD. menyampaikan bahwa dengan mengundang berbagai macam pembicara ahli didalam negeri dan luar negeri dari berbagai ahli dari pemerintahan dan praktisi-praktisi, duduk bersama berdiskusi dalam simposioum ini, hasilnya akan diberikan rekomendasi ke Pemerintah dan bagaimana kolaborasi antar instansi kedepannya” ujar Prof Wirat dalam wawancara (19/12).

PBB memprediksi kalau suhu global akan melonjak hingga 2,8⁰ di akhir millennium (UNEP, 2022). Dampaknya bisa menenggelamkan kota-kota pesisir, menciptakan gelombang panas ekstrim. Beruntungnya, Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi dampak perubahan iklim tersebut melalui blue carbon. Karbon yang tersimpan dalam ekosistem laut dan pesisir ini dapat memangkas total emisi hingga 3% per tahun, atau 1.2 metrik gigaton CO². 

“Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pertamina Foundation bersama Pertamina Group menggagas program Blue Carbon Initiative di beberapa daerah, diantaranya blora, Mahakam, bontang, lembata, kwatisore. Dengan konservasi restorasi ekosistem laut dan hutan serta pemberdayaan masyarakat sekitar, Pertamina Foundation siap mendukung target Nationally Determined Contribution 2030, FoLu Net Sink 2030, Net Zero Emission 2060”. kata Agus Mashud S. Asngari selaku Presiden Direktur Pertamina Foundation ketika memberikan sambutan pada -Simposium Internasional yang membawakan tema “The Role of Blue Carbon in REDD+ and NDC” yang diselenggarakan oleh Pertamina Foundation bekerja sama dengan Universitas Pertamina dan ECADIN pada tanggal 19 Desember 2022.

Menurut Agus Mashud,program Blue Carbon Initiative ini bersinergi dengan Pemerintah, Pertamina Group, Lembaga konservasi, perguruan tinggi dan masyarakat. Dan berperan dalam mengedukasi bagaimana pentingnya ekosistem mangrove, untuk bisa membantu mengatasi climate change, dan bersama menanam tumbuhan di coastal dan marine.

Pembicara Mr. Carlo Carlos dari ASEAN Center for Biodiversity mengungkapkan bahwa “terdapat 22 target aksi yang akan dicapai hingga 2030 diantaranya adalah Konservasi spesies, Kawasan lindung, Ekosistem, Pengurangan polusi, Perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, Pengelolaan sumber daya alam, Bisnis dan lembaga keuangan, Konsumsi berkelanjutan, Bioteknologi, Mobilisasi sumber daya dan pembiayaan, Gender dan IPLCs, Pembangunan dan pengembangan kapasitas.

Di akhir acara Prof. Rudianto Amirta, S.Hut., MP selaku moderator menyampaikan beberapa poin kunci dari keanekaragaman hayati ASEAN, diantaranya adalah :

  1. Operasi bisnis berdampak pada sumber daya alam tempat mereka bekerja.
  2. Transparansi lebih lanjut, bagaimana usaha memulihkan sumber daya alam harus ada.
  3. Dalam Laporan Perubahan Iklim ASEAN: NBS berkomitmen kuat. Mempromosikan NBS dalam semua prioritas dalam pembangunan sebagai strategi adaptasi.
  4. ASEAN telah mengembangkan panduan untuk menggunakan Standar Global IUCN untuk NBS.
  5. Mempertimbangkan terutama penerima manfaat bagi yang rentan, jika NBS diterapkan
  6. Memastikan bahwa kebijakan sudah siap jika menerapkan NBS.
  7. Keanekaragaman Hayati adalah keterkaitan semua unsur alam yang harus dihambat dalam pelaksanaan NBS

Dan juga menyampaikan beberapa poin penting terkait ekosistem pesisir dan peran ekosistem pesisir untuk NDC dan REDD+, diantaranya adalah : 

  • Blue Carbon atau Karbon Biologis yang ditangkap oleh organisme pesisir-laut melalui proses fotosintesis berperan sangat penting dalam penyerapan karbon.
  • Ekosistem biru terdiri dari 3 ekosistem utama; Mangrove, Lamun, yang tersedia di Indonesia, dan Salt Marshes,
  • Ketiga ekosistem tersebut memiliki luasan wilayah yang paling sedikit namun memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang paling tinggi. Jika habitatnya rusak maka akan melepaskan karbon/play sebagai sumber karbon
  • blue Carbon perlu dioptimalkan untuk digunakan dalam skema NDC.