Jakarta, ruangenergi.com- Terkait dengan surat yang disampaikan kepada Presiden oleh mantan anggota DEN Prof Mukhtasor.,PhD, Ketua Umum Asosiasi Energi Solar Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa dan Yani, Dewan Pakar AESI memberikan komentar dan masukan untuk pengembangan PLTS Atap dan pembangunan pabrikan solar module di Indonesia. Berikut petikannya:
Saat ini kapasitas produksi PV module China, mungkin sudah mencapai 400 GW/tahun pada akhir 2021 (ada teman saya, kapasitas produksi pabrik module nya di China 90 GW).
Untuk Indonesia bersaing secara kompetitif dalam harga dengan module China rasanya mustahil saat ini, karena di sana telah terbangun industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Sementara kita baru mau memulai, industri solar modul mereka sudah “mature”.
Bukan anti dengan ide membangun dan memiliki industri dalam negri, namun agar investor bersedia membangun integrated solar module industri, diperlukan jaminan bahwa pasar sehingga module PV dari Indonesia ada pasarnya dan produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri, meski harganya nanti lebih mahal dari module dari China, pasti akan digunakan. Untuk itu diperlukan kebijakan industri dan kebijakan pemerintah lainnya (misalnya: insentif bagi industri bahan baku dalam negeri, bea masuk module import dinaikan, kepastian kebutuhan module dalam negeri). Dengan perkembangan teknologi hari ini, minimal ada permintaan domestik 500 MW/tahun untuk 2-3 tahun ke depan untuk menarik minat investasi.
Menunggu dana dari pemerintah tersedia atau minat dari pihak swasta untuk berinvestasi membangun pabrik integrated solar module, memerlukan waktu. Kebijakan pemerintah, untuk memastikan bahwa pasar domestic yang “significant dan berkelanjutan dan pasti terjadi belum tersedia. Karenanya pemanfaatan energi surya, jangan berhenti atau terhambat dengan alasan harus menggunakan teknologi lokal dan hingga industri PLTS dibangun lebih dulu. Perlu diingat, Indonesia telah membuat target bauran energi (demi Ketahanan Energi Nasional), dan pengurangan emisi carbon (janji Bangsa pada Dunia). Pengalaman dalam menggunakan PV module, memasang, mengoperasikan, merawat dan menyambung listrik ke jaringan PLN, inovasi-inovasi lain yang diperlukan perlu segera kita mulai dan kita miliki.
Kalau boleh memberi saran: Karena Indonesia memiliki sumber “Silika” yang berlimpah, bangun pabrik kaca dengan Standard Internasional saja dulu (komponen terberat). Kaca yang dihasilkan oleh pabrik lokal perlu di tingkat kan.
Formula dari 1 : 0,65 menjadi 1 : 1 tidak perlu dilakukan. Menurut Prof Mukhtasor, hal yang perlu dilakukan adalah:
Perbaiki proses bisnis di pemerintahan dan PLN agar pembangunan PLTS Atap dapat difasilitasi lebih baik dan lebih cepat.
Pemerintah menerbitkan PP tentang Percepatan Penguatan Kemampuan Nasional dan Pengembangan Ekosistem Industri EBT
Formula 1 : 1 diperlukan agar masyarakat bersemangat untuk memasang PV rooftop, karena pengembalian investasinya akan lebih cepat dengan formula 1 : 1. Dengan 1 : 0,65, pengembalian investasi PLTS Atap lebih dari 10 tahun. Dengan formula ini minat masyarakat untuk ikut gotong royong memasang PLTS Atap (tanpa subsidi pemerintah) lebih tinggi.
PP percepatan penguatan kemampuan nasional pengembangan industry EBT, boleh saja diterbitkan. Namun, jangan dikondisikan bahwa pembangunan rooftop PV harus menunggu industri (pabrik) dibangun dan beroperasi terlebih dulu karena pembangunan industri butuh waktu.
Pada dasarnya swasta memiliki “instinct” bisnis yang sangat tajam. Mereka akan melakukan investasi di sektor tertentu, bila mereka yakin dana investasinya berikut marginnya akan kembali dengan aman. Apalagi untuk membangun integrated PV module diperlukan dana puluhan triliun rupiah. Kenapa harus investasi di industry ini, kalau kebijakan atasnya nya saja tidak ada kejelasan.
Target tersedia, RUEN, KEN, REBID, REBED dll, tapi implementasi sangat minim. Bila ada usulan untuk memacu pemanfaatan ET, para ahli (yang mengaku ahli) pro-kon berdebat dan tidak ada tanda-tanda mau berhenti berdebat.
Kenapa ketika ada desakan serius agar ET dimanfaatkan, selalu diberi persyaratan harus menggunakan teknologi lokal. Sementara itu PLTU batubara, generator untuk PLTD yang sudah kita gunakan puluhan tahun, kenapa tidak diberikan syarat harus teknologi lokal?.
Terkait dengan kerugian pemerintah atau PLN disebahkan pemanfaatan ET, serahkan pada para ahli listrik yang berpengalaman yang menganalisa dan menghitung konsekwensi penggunaan ET, khususnya rooftop. Sebelum Permen ESDM mengenai 1 : 1 untuk rooftop diterbitkan, pastilah pejabat ESDM/EBTKE sudah meminta pertimbangan para ahli terkait bahwa banyak hal yang sulit ternyata dapat diselesaikan melalui kepemimpinan Pemerintah. Misalnya pembangunan infrastruktur pelabuhan, jalan, kereta dll.
Pemerintah membangun KA Cepat Bandung – Jakarta . dengan biaya Rp. 86 T (semua komponen import dari China termasuk tempat duduk). Bila pemerintah serius untuk mengembangkan teknologi nasional, sesungguhnya dana untuk pembangunan KA cepat tersebut bisa digunakan untuk pembangunan misalnya 2 pabrik integrated solar modul2. Mungkin kita tidak bisa memilih prioritas??
Peringatan pelaksanaan langkah-langkah diatas harus didasarkan pada roadmap yang komprehensif, rasional dan terukur.
Bukankah sudah ada perencanaan target masing-masing ET yang disusun ESDM & PLN? statement Bpk Mukhtasor memberikan kesan bahwa pengembangan pemanfaatan ET perlu diwaspadai.
Apakah pemanfaatan Pembangkit Diesel, pernah juga Bapak Mukhtasor beri peringatan?
Apakah subsidi pemerintah untuk gas dan batubara pernah dikomentari dan diberi peringatan?
Mengenai keadilan energi untuk masyarakat.
Masyarakat di daerah yang listrik mereka tergantung pada PLTD, biasanya mendapatkan listrik 4 – 6 jam/malam. Tidak jarang pula harus bergilir, satu malam listrik hidup, satu malam padam. Minyak solar yang di Import pemerintah, sering harus dibeli dari penjualan di pinggir jalan dengan harga lebih mahal, bila minyak solar sedang tidak tersedia di SPBU terdekat,
Juga masyarakat yang pada saat ini berada di daerah yang belum mendapat pelayanan listrik. Bila di daerah-daerah seperti ini, tidak terdapat sumber micro/pico hydro yang secara ekonomis dapat dibangun, makan energi surya akan merupakan solusi yang sangat tepat untuk melistriki masyarakat, sehingga berkurang jumlah masyarakat yang tidak ada akses pada sarana listrik, mengurangi biaya PLN/pemerintah serta mengurangi import minyak solar.