Batubara

UU Cipta Kerja Dorong Investasi Sektor ESDM

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dapat mendorong iklim investasi di sektor ESDM agar lebih menarik.

Pasalnya, sektor energi dan sumber daya mineral merupakan sektor yang membutuhkan investasi tinggi. Terlebih lagi di tengah situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah terus berusaha agar iklim investasi sektor tersebut tetap menarik.

Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja diterbitkan dalam rangka penyederhanaan regulasi, birokrasi sehingga mendorong peningkatan investasi. Selanjutnya, peningkatan investasi secara masif berdampak pada terciptanya lapangan kerja.

Batu bara

 

Berdasarkan data yang dihimpun Ruangenergi.com, dalam UU Cipta Kerja tersebut, Pemerintah akan memberikan insentif yang menarik untuk badan usaha dalam bentuk royalti sampai dengan 0% (Nol persen) yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambah batubara.

UU Cipta Kerja juga mendorong upaya hilirisasi batubara agar terciptanya produk batubara bernilai tambah, serta menjadi substitusi impor seperti DME (Dimethyl Ether), urea, dan polypropylene.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga melakukan penyempurnaan pasal pidana terkait perlindungan dan kepastian berusaha bagi pemegang izin pertambangan yang telah menyelesaikan hak atas tanah.

Dengan demikian di sektor ESDM UU Cipta Kerja melakukan pengaturan penggabungan izin eksplorasi dan operasi produksi; Jaminan pemanfaatan ruang dan Kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan; Pemberian insentif non fiskal bagi perusahaan yang melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara, serta; Penatakelolaan kegiatan pertambangan rakyat.

 

Sektor Ketenagalistrikan

PLTU

Dalam UU Cipta Kerja, juga memberikan penyederhanaan dan memudahkan izin usaha di bidang ketenagalistrikan (termasuk di dalamnya kegiatan jual beli tenaga listrik lintas negara).

Kemudian, melakukan standarisasi persyaratan dan proses penerbitan izin usaha ketenagalistrikan di seluruh daerah di Indonesia.

Selanjutnya, mengakomodir pemenuhan kebutuhan tenaga listrik di daerah sehingga rencana pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan lebih terintegrasi.

Serta mengefisiensi waktu dan menyederhanakan birokrasi guna mendorong investasi di Indonesia.

Kemudian menyederhanakan dan memudahkan pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telematika (semua harus memiliki izin menjadi cukup persetujuan pemilik jaringan dan menyampaikan laporan)

Membuka peluang bagi Badan Layanan Umum (BLU), di mana Pemerintah untuk memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat tanpa mengutamakan keuntungan, namun berdasarkan prinsip efisiensi dan produktifitas.

Membuka lapangan usaha baru dalam usaha jasa penunjang tenaga listrik (berupa usaha sertifikasi badan usaha penunjang tenaga listrik).

Pasal yang mengatur sanksi pidana mengkedepankan sanksi administrative dan menjadikan sanksi pidana sebagai ultimum remendium.

Menjamin keandalan pasokan listrik kepada konsumen atau masyarakat.

Sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas)

Migas

UU Cipta Kerja dalam mengatur iklim investasi di sektor Migas tanah air tetap mengacu pada UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).

Di mana dalam Pasal 11 ayat (3) huruf p UU 22/2001, menyebut, kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana wajib memuat ketentuan-ketentuan pokok yang salah satunya adalah ketentuan mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.

Selain itu, dalam Pasal 40 ayat (5) disebutkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi (kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir) ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.

 

Sektor Panas Bumi

PLTP Dieng

Sementara di sektor Panas Bumi, UU Cipta Kerja mengatur simplikasi perizinan yang mencakup, di antaranya :

Pertama, penguasaan panas bumi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemprov dan Pemkab/Kota sesuai dengan kewenangannya.

Kedua, Pemerintah Pusat mengatur perizinan berusaha.

Ketiga, Pemanfaatan langsung panas bumi tidak dalam bentuk perizinan, melainkan pemenuhan kewajiban norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK).

Keempat, dihapusnya ketentuan harga energi dan iuran produksi panas bumi untuk pemanfaatan langsung untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Kelima, penyederhanaan perizinan pada pemanfaatan tidak langsung yang berada pada wilayah konservasi perairan.

Keenam, wajib melakukan pembebasan lahan atau penyelesaian hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan.