Wow, Ini Ternyata Masalah Terpenting dalam EOR Menurut SKK Migas

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersyukur selalu ada penemuan minyak dan gas di Indonesia. Berkat penemuan migas, maka cadangan bertambah.

Namun demikian, akan tetap ada porsi sekitar 40 persen yang tertinggal di reservoir yang tidak akan bisa diambil, jikalau tidak menerapkan enhanced oil recovery (EOR).

“Mustahi ambil semuanya, walaupun EOR diterapkan. Kita pernah ada studi lapangan  tertiary. Kita identifikasi lapangan-lapangan minyak eksisting untuk EOR. Kesimpulannya, kita mungkin akan bisa extract sekitar 3 billion stock barrel dari 54 lapangan potensial,” kata Kepala Kelompok Kerja Tahap Lanjut SKK Migas Arif Prasetyo dalam paparan dihadapan peserta acara Forum Kolaborasi Project Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan tema “Aspek Hukum Optimalisasi Produksi Minyak Bumi Melalui Enhanced Oil Recovery (EOR), Jumat (06/03/2024), di Jakarta.

Asosiasi Praktisi Hukum Minyak Gas Bumi dan Energi Terbarukan (APHMET) dan Komunitas Migas Indonesia (KMI) dengan menggandeng Fernandes Partnership menggelar acara Forum Kolaborasi Project Enhanced Oil Recovery (EOR) pada Jumat (08/03/2024), di Jakarta.

Arif bercerita, identifikasi aspek hukum dalam EOR. Mulai dari penunjukkan lembaga, ini juga sering dispute. Bagaimana idealnya kita menunjuk suatu lembaga.

“Contoh untuk operator K3S yang Headquarter nya di luar negeri, punya kecenderungan jasa R&D di Headquarter. Dampaknya apa? Biaya. Jadi cost unit dari breakdown pekerjaan itu berbeda-beda. Sementara di dalam negeri kita punya acuan yang umumnya nilainya lebih rendah. Tentu saja kita bisa justifikasi kenapa itu dilakukan, tetapi itu tetap saja menimbulkan pertanyaan,” urai Arif dihadapan peserta anggota APHMET dan Komunitas Migas Indonesia (KMI) yang hadir di acara yang disponsori oleh Fernandes Partnership.

Masalah yang paling penting juga di EOR itu, adalah masalah Intellectual Property (IP) atau dikenal di Indonesia sebagai patent.

“Bagaimana kita mengelola, karena ini dikerjakan third party kajian ini umumnya. Sering kali ada case juga patent dari hasil study yang ke depannya bisa menimbulkan potensi masalah,” jelas Arif.