Jakarta,ruangenergi.com-Pengembangan dan penambahan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) menjadi sangat penting untuk mencapai target 23% energy mix di 2025 dan Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060.
Dalam hal mencapai target NZE di 2060, diperlukan kapasitas pembangkit EBT mencapai 600 GW dengan total investasi mencapai 10 ribu triliun rupiah. Hal tersebut tentunya membutuhkan dukungan dari semua pihak dan sudah menjadi keharusan untuk Indonesia dalam ikut menjadi produsen EBT agar investasi tersebut tidak semuanya dinikmati asing.
“Apabila dilihat dari penambahan kapasitas EBT dalam beberapa tahun terakhir, masih terdapat tantangan dalam implementasinya diantaranya Regulasi yang belum harmonis, Insentif yang belum menggairahkan, Teknologi EBT yang masih bergantung impor dan belum berkembangnya Industri dalam negeri, dan juga tarif EBT yang belum sepenuhnya kompetitif, disamping tantangan lainnya yang juga berkontribusi dalam pengembangan EBT di Indonesia,”demikian disampaikan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Wiluyo Kusdwiharto dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com, Selasa (11/04/2023) di Jakarta.
Menurut Wiluyo, kondisi oversupply saat ini dan kurangnya pertumbuhan demand tentunya menjadi salah satu tantangan pokok penambahan kapasitas pembangkit baik itu EBT maupun non EBT.
Selama belum terdapat permintaan demand maka penambahan pembangkit baru akan berakibat pada penambahan kompensasi yang harus ditanggung pemerintah. Untuk itu demand creation yang juga mendukung transisi energi seperti penggunaan EV dan juga elektrifikasi sektor industri dan lainnya, menjadi salah satu solusi untuk mempercepat penambahan kapasitas EBT.
Dari sisi regulasi, saat ini pemerintah baru mengeluarkan insentif-insentif yang belum sepenuhnya mendorong antusiasme penurunan karbon. Untuk dapat meningkatkan penggunaan energi bersih, tentunya penerapan carbon tax & credit perlu diimplementasikan dan tidak terbatas di sektor kelistrikan saja namun juga disektor lainnya. Dari sini harapannya tax yang didapat, dapat digunakan untuk membantu kebutuhan investasi ataupun subsidi tarif EBT yang saat ini masih lebih tinggi dari tarif pembangkit thermal.
Diluar hal tersebut, dari sisi pembiayaan, banyak pembiayaan asing yang menawarkan rate rendah namun dengan banyak persyaratan lainnya. Tentunya kita perlu lebih selektif dan mengutamakan kepentingan pertumbuhan industri EBT dalam negeri. Peningkatan kapabilitas industri EBT dalam negeri tentunya dapat memberikan multiplier efek sehingga Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pembangkit EBT secara mandiri dan bahkan mensupply pasar kebutuhan EBT di negara-negara lain.
Untuk itu, perlu dukungan konkrit pemerintah dalam menyusun dan mengeksekusi roadmap pengembangan Industri EBT di dalam negeri disertai dengan insentif-insentif dan regulasi pendukungnya.
“Dari ketiga point utama tersebut, METI sebagai Organisasi yang sangat Pro terhadap pengembangan Energi Bersih, akan terus memberikan masukan pada pemerintah dan juga menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan pelaku Energi terbarukan lainnya untuk mencarikan solusi bersama demi majunya pengembangan EBT di Indonesia.METI mendukung Majunya Industri EBT Nasional demi Indonesia yang Maju dan Bersih,” pungkas Wiluyo.