Jakarta, Ruangenergi.com – Ketua Tim Peneliti PMSI Universitas Indonesia (UI), Suyud Warno Utomo, mengatakan, pemanfaatan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) selama ini masih sangat terbatas karena kala itu masih masuk ke dalam kategori limbah B3 (bahan berbahaya beracun).
Menurutnya, pemanfaatan FABA bisa melibatkan semua pihak, misalnya saja dengan bisa dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam membuat suatu produk seperti (paving block, beton dan lainnya).
“Tercatat pada 2018, fly ash hanya terserap 33% sedangkan untuk bottom Ash lebih sedikit, dengan kondisi seperti ini yang ada sekarang maka diperlukan inovasi pemanfaatannya,” ungkap Suyud dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Ruangenergi.com bertajuk “Potensi Pemanfaatan FABA Sumber PLTU Untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Kamis, (01/04).
Ia menambahkan, tanpa inovasi pemanfaatan FABA maka lahan yang tersedia akan cepat penuh dan akan menjadi permasalahan lingkungan tersendiri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, bahwa menetapkan FABA sebagai limbah Non-B3.
“Aspek teknis dan ekonomis nya yakni pemenuhan ijin lingkungan (adanya oknum yang memasang biaya sangat besar untuk dokumen AMDAL). Biaya pengelolaan yang besar dan ketersediaan lahan dan transportasi pengolahan limbah,” imbuhnya.
Ia mengemukakan bahwa pada dasarnya setiap kegiatan akan selalu menimbulkan dampak lingkungan. Untuk itu, katanya, pembangunan harus meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif.
“Masyarakat terkena dampak seharusnya mendapatkan prioritas untuk kesempatan kerja dan atau kesempatan berusaha,” paparnya.
Kemudian, tutur Suyud, hubungan yang harmonis antara dunia usaha dengan lingkungannya harus diusahakan agar keberlanjutan kegiatan dapat lebih terjamin.
“Dalam teori-teori di pembangunan berkelanjutan, teori ekologi mengatakan bahwa yang namanya harmonisme itu benar-benar akan terjadi dengan dunia usaha dan lingkungannya. Jangan sampai lingkungan hanya sekadar mendapatkan pencemaran dan kerugiannya saja, sementara dari pihak perusahaan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya,” katanya.
Program tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility /CSR) mestinya yang berkelanjutan harus membangun masyarakat yang dapat mandiri.
“Kami di penelitian berbagai tempat menemukan tidak semudah itu dalam menerapkan pemanfaatan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat, karena untuk melakukan yang dicontohkan oleh perusahaan itu akan sangat sulit karena teknologi buang tinggi memerlukan biaya yang besar. Saya prihatin terhadap program CSR yang tidak secara nyata membantu masyarakat mengembangkan kesejahteraan,” imbuh.
Salah satu peneliti yang dilakukan olehnya yakni di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang Desa Tubanan, yakni desa yang terdekat dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah.
“Kami meneliti tentang pemanfaatan FABA, namun kala itu masih masuk ke dalam kategori limbah B3 sehingga kami sulit untuk mendapatkan contoh, maka kami membuat uji coba skala kecil dan Alhamdulillah tim kami sudah berhasil membuat suatu formula untuk berbagai macam produk terhadap pemanfaatan FABA,” ungkapnya.
Suyud mengemukakan bahwa terkait aspek sosial dana kompensasi untuk kesehatan masyarakat sebagai dampak dari aktivitas PLTU.
“Penyerapan tenaga kerja lokal sebanyak mungkin, meskipun tetap memperhatikan kualifikasi pendidikan dan keahliannya, tetapi sebisa mungkin harus maksimal mungkin menampung tenaga lokal (adanya Kouta untuk tenaga kerja lokal),” katanya.
Menurutnya, dana kompensasi pembangunan harus tepat sasaran (sampai ke masyarakat lapisannya bawah).
“Masyarakat berharap adanya program pemeriksaan kesehatan gratis bagi warga masyarakat Desa, serta pemerataan bantuan Kambing Kurban yang selama ini telah dilakukan,” bebernya.
Kerjasama Dengan Pihak Ketiga
Dalam pemanfaatan limbah FABA, katanya, harus bekerjasama dengan pihak-pihak terkait yang memiliki perijinannya.
“Kami berharap nantinya FABA itu bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga, misalnya dengan Pemda setempat atau masyarakat setempat dalam bentuk UMKM, dan lainnya,” paparnya.
Ia menjelaskan, pihak ketiga harus menjadi bapak asuh untuk membina masyarakat memproduksi beraneka ragam keperluan yang berbahan dasar FABA.
“Selanjutnya, pihak ketiga harus mempunyai formula untuk berbagai produk berbahan baku FABA. Kemudian, pihak ketiga dapat mengawasi UMKM yang dibina dan mampu membantu memasarkan produk, yang memanfaatkan bisa dari Pemda setempat sehingga dengan demikian ada kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat setempat,” tukasnya.
Dalam melakukan kerjasama dengan Pemda setempat dibutuhkan monitoring evaluasi terhadap pemanfaatan FABA terutama untuk dampak lingkungan.
“Kerjasama akademisi untuk pengembangan pemanfaatan FABA juga dampak lingkungan dari FABA khususnya kandungan kimia yang ada sampai dimana penyebarannya. Akan lebih baik apabila dari awal juga sudah diketahui kandungan logam beratnya. Dan kami juga sudah mengembang alat untuk mengembangkan FABA untuk paving block,” tandasnya.