Jakarta, Ruangenergi.com – Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori menilai, perilaku konsumen bahan bakar minyak (BBM) di tanah air saat ini mulai mengalami perubahan dengan memilih menggunakan BBM beroktan lebih tinggi dari pada yang sebelumnya mereka gunakan seperti premium dan solar. Hal ini mereka lakukan karena sadar hasilnya akan lebih baik untuk pemeliharaan kendaraan.
“Jadi selain banyak pilihan BBM yang disediakan oleh Pertamina, tampaknya memang ada perubahan pola konsumsi masyarakat yang memilih jenis BBM beroktan lebih tinggi, karena mampu meningkatkan kinerja (kecepatan, kehandalan, dan pemiharaan) kendaraan mereka yang lebih baik,” kata Defiyan dalam sebuah diskusi online yang digelar YLKI di Jakarta, Sabtu pekan lalu.
Menurut dia, saat ini sebagian besar pemilik sepeda motor mulai meninggalkan premium, terutama sepeda motor jenis matic yang lebih memilih menggunakan Pertalite atau Pertamax sebagaimana ditunjang buku petunjuk kendaraan bermotor dan dealernya. “Bahkan, bisa jadi telah terjadi perubahan perilaku di kalangan pemilik mobil dan sepeda motor yang “malu” membeli BBM bersubsidi seperti Premium,” tukasnnya.
Ia juga mengungkapkan, bahwa konsumsi BBM jenis premium terus mengalami penurunan. Hal ini mulai terlihat sejak Tahun 2014 atau 5 tahun terakhir ini berdasar data penjualan BBM Pertamina. Misalnya, pada Tahun 2015 ke 2016, penurunan konsumsi premium juga kembali terjadi, yaitu dari 27,6 juta Kilo Liter/KL menjadi 21,6 juta KL. Bahkan, angka penurunan konsumsi anjlok drastis menjadi 12,3 juta KL pada Tahun 2017, dan ini merupakan angka penurunan terbesar, yaitu sejumlah 9.3 juta KL.
Sebenarnya, kata Defiyan, penurunan penjualan premium Pertamina 5 tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa konsumen sebenarnya telah memiliki kesadaran atas kebutuhan BBM ramah lingkungan. Tapi masalah utama sejak Tahun 2014 dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (yang dirubah menjadi Perpres No.43 Tahun 2018) justru berada pada komitmen Pemerintah sendiri.
“Premium sebagai BBM beroktan rendah apabila disediakan terus tentu akan membuka peluang konsumen untuk terus mengkonsumsi. Apalagi jumlah kendaraan bermotor roda dua semakin meningkat dengan adanya kebijakan izin angkutan umum yang diberikan oleh Kementerian Perhubungan. Ini membuat kebijakan pemerintah menjadi absurd dan tak masuk akal,” tukasnya.
Terkait perkembangan jumlah kendaraan bermotor seperti dipublis Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Tahun 2018, total semua jenis kendaraan bermotor sudah mencapai 146.858.759 unit, di mana 120.101.047 unit di antaranya adalah sepeda motor. “Dan kita tahu selama ini sepeda motor merupakan konsumen utama premium dan diperkirakan sebagai penyebab dari ketidakramahan lingkungan udara di Jakarta dan Indonesia,” ungkapnya.
Sementara khusus data Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018 menunjukkan, bahwa mobil penumpang mencatat pertumbuhan tertinggi 6,48% per tahun pada periode 2012-2016. Pada Tahun 2012 jumlah mobil penumpang di Jakarta sebanyak 2,74 juta unit sedangkan pada 2016 bertambah menjadi 3,52 juta unit.
Menurut Defiyan, jika diasumsikan pertumbuhan mobil penumpang masih sama, jumlah mobil penumpang di Jakarta pada 2017 mencapai 3,75 juta unit dan 2018 menjadi 3,99 juta unit. “Sedangkan jumlah sepeda motor di Jakarta pada 2012 mencapai 10,82 juta unit. Angka ini terus meningkat menjadi 13,3 juta unit pada 2016. Dengan rerata pertumbuhan 5,3% per tahun, jumlah sepeda motor diperkirakan mencapai 14 juta unit pada 2017 dan 14,74 juta unit pada 2018,” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menyoroti soal wacana penghapusan BBM premium yang sempat muncul di ruang publik. Menurut dia, wacana tersebut idealnya tak perlu menimbulkan kegelisahan. Padalnya, hal serupa sudah pernah dilakukan di Jakarta pada tahun 2018, bahkan waktu itu bensin premium telah dikendalikan secara ketat di seluruh Pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).
“Sayangnya kebijakan tersebut mati suri, karena beberapa hari menjelang mudik Lebaran (2018), Menteri ESDM saat itu Ignasius Jonan mewajibkan SPBU Pertamina di Pulau Jawa termasuk Jakarta untuk kembali menjual premium dengan alasan untuk membantu pemudik dan menjaga daya beli masyarakat,” kata Tulus.
Menurut dia, jika basis rujukannya aspek lingkungan, sosial ekonomi, bahkan aspek kesehatan, maka penghapusan bensin premium dari kota Jakarta adalah sebuah keniscayaan. “Dari sisi lingkungan dan kualitas udara, faktanya Jakarta telah diberikan predikat sebagai satu kota terpolusi di dunia. Buktinya adalah hasil ukur oleh AQI (Air Quality Indeks) pada Juli 2019, Jakarta berposisi sebagai kota terpolusi di dunia, dengan skor 175, alias kota tidak sehat (unhealthy),” jelasnya.
Dan skor tersebut, kata dia, bersifat konstan (tetap), bahkan kadang mengalami kenaikan. Rentang nilai indeks kualitas udara versi AQI adalah 0 sampai dengan 500. “Makin tinggi tingkat skornya, makin tinggi pula tingkat polusinya di suatu wilayah, rinciannya: kategori bagus (0-50), kategori moderat (51-100), kategori tidak sehat bagi kelompok rentan (101-150), kategori tidak sehat (151-200), kategori sangat tidak sehat (201-203), dan kategori berbahaya dengan skor 301-500,” ungkap Tulus.
Menurut dia, hal ini terjadi akibat tingginya emisi gas buang sektor transportasi darat sebagaimana dibuktikan oleh Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta, bahwa sebaran penyebab polusi di Jakarta adalah: transportasi darat (75 persen), pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen).
“Sangat logis sektor transportasi darat berkontribusi signifikan. Sebab Penggunaan kendaraan bermotor pribadi untuk sarana mobilitas warga masih dominan, baik roda empat maupun roda dua. Saat ini lebih dari 13 juta unit sepeda motor dan lebih dari 6 uta unit kendaraan roda empat dimiliki warga Jakarta. Jumlah ini belum termasuk kendaraan bermotor warga Bodetabek yang tiap hari menggerojoki Kota Jakarta, jumlahnya tak kurang dari 1 juta orang,” paparnya.
Sejatinya, kata dia, tingginya penggunaan kendaraan bermotor pribadi tidak serta merta menjadi pencemar utama secara signifikan, jika bahan bakar yang digunakan berkualitas bagus dan ramah lingkungan. “Lihat saja langit udara negara-negara di Eropa yang tetap cerah membiru, karena jenis BBM yang digunakan standar Euro 6,” ucapnya.
- “Inilah bedanya dengan Kota Jakarta, tingginya penggunaan kendaraan pribadi, berkaitan atau berhubungan dengan tingginya pencemaran karena jenis BBM yang digunakan berkualitas rendah dan tidak ramah lingkungan. Untuk memenuhi kualifikasi BBM ramah lingkungan dan memenuhi standar Euro, minimal harus RON 91 dan atau CN 51 untuk kategori diesel,” demikian Tulus Abadi.(SF)