EBT

Rencana Aksi Tingkatkan Pembangkit Listrik yang bersumber dari Energi Terbarukan

Jakarta, Ruangenergi.comMasyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebut, ada enam rencana aksi dari sumber Energi Terbarukan (ET) yang memang merupakan hal yang lebih mudah diimplementasikan dalam rangka peningkatan pembangkit listrik dari energi terbarukan untuk waktu singkat.

Ketua Umum METI, Surya Dharma, mengatakan, Co-firing di PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) tentu saja secara otomatis akan mengurangi porsi batubara dan meningkatkan bioenergi. Walaupun akan menghadapi tantangan akan kesiapan bahan bakar Biomasa yang berkesinambungan.

Tentunya, kata Surya, hal ini diperlukan keterlibatan yang intensif dari kawasan hutan produktif (Perhutani dan PT Perkebunan Nusantara).

“Untuk kesinambungan bahan bakar biomasa, perlu dipersiapkan lahan khusus yang juga dapat menggunakan lahan non produktif selama ini. Rencana aksi yang paling cepat dapat meningkatkan porsi ET adalah dengan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Atap karena bisa dilakukan siapa saja dalam waktu yang sangat singkat selama panel surya tersedia,” katanya, (11/02).

Ia menambahkan, tantangan yang ada sekarang adalah kemudahan perizinan dan perhitungan biaya ekspor impor yang dianggap tidak fair oleh konsumen PT PLN (Persero) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Di mana aturan ini dimaksudkan untuk membuka peluang bagi seluruh konsumen PLN baik dari sektor rumah tangga, bisnis, Pemerintah, sosial maupun industri untuk berperan serta dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi terbarukan untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi, khususnya energi surya.

“Karena itu, perlu ada beberapa review dan revisi terhadap Permen solar roof top bagi konsumen PLN. Sedangkan konversi PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) ke EBT (Energi Baru Terbarukan), seharusnya juga tegas bukan pembangkit fosil sebagai energi baru, tapi konversi PLTD ke ET. Kalau ke EBT berarti masih ada potensi juga menggunakan sumber energi fosil yang baru,” terangnya.

Menurutnya, konversi ini bisa dengan menggunakan mini hidro atau PLTS. Akan tetapi karena PLTS itu sifatnya intermitten dan capacity factor yang sangat rendah, tentu perlu dilakukan secara hybrid selain peran smart grid yang sangat penting.

Sementara, jelas Surya, penggunaan Biodiesel 30% (B30) pada pembangkit, tentu saja merupakan cara lain untuk menurunkan porsi energi fosil sekaligus meningkatkan ET tanpa harus membangun pembangkit baru.

“Dengan kondisi pasca Covid-19 yang berdampak pada pertumbuhan listrik nasional, maka program B30 akan dapat meningkatkan porsi ET sebagaimana juga peran B30 dalam sektor transportasi. Semua program ini lebih banyak kepada upaya memainkan persentase Bauran tanpa ada penambahan pembangkit,” imbuhnya.

Namun demikian perlu diingat bahwa dalam menuju pelaksanaan transisi energi, maka pembangunan pembangkit baru dari energi terbarukan seperti dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) yang punya kemampuan faktor kapasitas yang lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh cuaca dan lain-lain tetap perlu dipersiapkan.

“Untuk membangun PLTP diperlukan waktu yang lama, setidaknya butuh 6-7 tahun. Maka perlu dipastikan dari sekarang bahwa panasbumi juga harus mendapat perhatian dari pemerintah agar pada waktunya sudah bisa masuk dalam sistem kelistrikan secara nasional,” beber Surya.

Lebih jauh, ia mengatakan, hal yang sama juga dilakukan untuk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa), PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin), PLTS diluar program konversi jangka pendek saat ini.

“Untuk ini regulasi yang sudah dijanjikan untuk menarik investasi tentu saja perlu segera diterbitkan seperti Perpres ET dan UU Tentang Energi Terbarukan,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *