Jakarta, Ruangenergi.com – Rencana Pemerintah untuk tidak lagi melakukan importasi Bahan Bakar Minyak (BBM) serta Liquified Petroleum Gas (LPG) pada tahun 2030 sepertinya akan sulit tercapai. Hal ini bisa dilihat dari kondisi saat ini di mana produksi minyak Indonesia hanya sekitar 700 ribu BOPD. Di sisi lain proyek Grass Root Refinery (GRR) dan Refinery Development Master Plan (RDMP) juga berjalan lambat.
Padahal, target zero import tersebut harus bisa dipenuhi melalui hasil produksi di dalam negeri, salah satunya dengan program peningkatan produksi minyak 1 juta barel perhari (BOPD) dan gas 12 miliar standar kaki kubik perhari (BSCFD).
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, bahwa pada prinsipnya yang namanya target harus tetap dihormati dan dihargai, tinggal bagaimana caranya agar target tersebut bisa dicapai.
Kepada Ruangenergi.com, Jumat (24/4), Mamit menyebutkan bahwa masih perlu banyak kebijakan dan terobosan agar rencana tidak impor BBM di 2030 nanti bisa terealisasi
“Pada prinsipnya saya tetap pesimis target ini bisa dicapai, mengingat konsumsi BBM masih cukup tinggi dan tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri yang masih rendah. Program 1 juta BOPD pada 2030 juga banyak tantangan dan kendala. Kalaupun tercapai, saya kira belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri sepenuhnya,” ujar Mamit.
Tidak hanya itu, kata dia, upaya Pemerintah dan Pertamina melalui program RDMP dan GRR, juga masih belum optimal. Menurutnya, program 1 juta BOPD juga belum akan menyelesaikan persoalan impor, jika hal itu tidak diikuti oleh kebijakan lain yang konsisten, salah satunya yaitu kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV).
“Program RDMP dan GRR yang saat ini sedang digalakkan juga belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri kalau konsumsi terus meningkat. Program 1 juta BOPD masih belum cukup jika tidak ada perubahan terkait kendaraan listrik,” tukasnya.
Pemerintah, kata dia, perlu membuat kebijakan sehingga EV bisa menjadi lebih murah dan terjangkau. Selain itu, produsen EV juga harus bisa memenuhi keinginan konsumen Indonesia sehingga bisa bersaing.
“Fasilitas dan infrastruktur EV juga harus ditingkatan sampai ke berbagai wilayah di Indonesia. Keandalan penyedia listrik juga harus wajib tersedia,” lanjutnya.
Jadi menurut dia, yang harus dilakukan Pemerintah adalah mendukung penuh revolusi alih energi, dari kendaraan bermotor yang masih menggunakan energi fosil ke penggunaan kendaraan listrik.
“Kebijakan pemerintah sampai saat ini masih memanjakan penggunaan kendaraan menggunakan BBM. Tingkat penjualan kendaraan bermotor setiap tahun terus mengalami kenaikan, bahkan tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur yang merata,” cetusnya.
“Saya kira kita belum siap selama kebijakan untuk memiliki kendaraan begitu mudah. Karena peredaran kendaraan bermotor semakin besar,” tutup Mamit.(Red)