Jakarta, ruangenergi.com–Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S Handoko mendesak pihak Chevron untuk melakukan penyerahan langsung pembangkit listrik MCTN kepada PLN, tanpa harus melalui proses tender.
Menurut Arief, penyerahan langsung itu sah dilakukan, karena hal itu menjadi satu bagian dari serah terima pengelolaan blok Rokan dari Chevron. Hal ini bukan tanpa alasan, pembangunan pembangkit listrik MCTN itu juga dibiayai melalui cost recovery, maka seharusnya penyerahan blok Rokan diikuti juga dengan penyerahan pembangkit listrik MCTN kepada PLN.
“Setiap kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS yang beroperasi di Indonesia, tidak terkecuali Chevron, membangun pembangkit sendiri untuk kebutuhan listriknya. Namun, pada 1998, Chevron Pacific Indonesia menyerahkan pembangkit Blok Rokan ke Chevron Corporation,” ujar Arief di acara diskusi sebuah media nasional
Komposisi kepemilikan saham MCTN awalnya adalah 47,5 persen dikuasai Chevron Inc, 47,5 persen oleh Texaco Inc, dan 5 persen PT Nusa Galih Nusantara. Pada 2001, Chevron dan Texaco bergabung. Alhasil, kepemilikan sahamnya menjadi 95 persen oleh Chevron dan 5 persen PT Nusa Galih Nusantara.
“Jadi, Chevron Pacific Indonesia bayar listrik ke adiknya dengan tarif yang kencang. Berapapun yang ditagihkan tadi itu semua cost recovery,” tegasnya
Sebelumnya, SKK Migas sudah menyinggung persoalan tersebut sebelum Blok Rokan diputuskan dikelola Pertamina. Alih kelolanya akan terjadi pada 9 Agustus nanti. Namun, masalah itu kurang mendapat perhatian.
Padahal, Pertamina Hulu Rokan, selaku pengelola selanjutnya, bakal membutuhkan listrik untuk menopang produksi di sana. Ia mendesak agar Chevron tidak melakukan opsi tender dan segera menyerahkan pembangkit tersebut ke negara.
Pasalnya, usia aset yang ditenderkan hanya tiga tahun. Hal ini berpotensi membuat pemenang tender akan meraup untung dalam berjualan listrik.
Di samping itu, Chevron juga telah mendapatkan keuntungan jauh melebihi investasi awal dari pembangkit listrik. Investasi awal untuk membangunnya adalah USD200 juta. Sedangkan, tagihan listrik di Blok Rokan dari MCTN ke Chevron dapat mencapai USD80 juta per tahun hingga 2020.
“Dulu kenapa CPI tidak bangun (pembangkit) sendiri? Karena ada transfer pricing. Adik usahanya mau diuntungkan. Itu yang enggak benar. Saya marah benar itu,” ujarnya.
Dia mendorong supaya Chevron membatalkan proses tender dan membiarkan PLN untuk mengelola pembangkit tersebut. Apalagi, lahan yang digunakan untuk pembangkit selama ini tidak dikenakan sewa dan sebagian karyawan MCTN juga merupakan karyawan Chevron yang dibayar dengan cost recovery.
Arief mendorong pemerintah dapat bersikap lebih keras lagi terhadap Chevron. Blok Rokan memiliki nilai strategis karena bertahun-tahun menjadi penyumbang terbesar produksi minyak nasional.