Jakarta,ruangenergi.com–Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) tetap bersikukuh meminta kepada otoritas pertambangan dan batu bara Indonesia agar tarif royalti yang akan diberikan kepada pemegang ijin usaha pertambangan khusus-operasi produksi (IUPK-OP) tidak terlalu memberatkan bagi para pelaku usaha.
Jika terlalu tinggi tarifnya maka cadangan batu bara nasional untuk ketahanan energi dan hilirisasi yang sedang disiapkan Pemerintah Indonesia.
“Intinya kita minta agar tarif royalti yang akan diberlakukan kepada pemegang IUPK-OP (eks PKP2B) tidak terlalu memberatkan bagi pelaku usaha. Jika tarifnya terlalu tinggi cadangan batubara nasional untuk ketahanan energi dan hilirisasi,” kata Direktur Executive APBI Hendra Sinadia kepada ruangenergi.com,akhir pekan lalu di Jakarta.
Di sisi lain, APBI meminta sanksi kompensasi domestic market obligation (DMO) batu bara tahun 2021 tidak diterapkan, seperti yang diusulkan di 2020 karena faktor ketidakpastian yang masih tinggi.
“APBI minta sanksi kompensasi DMO 2021 tidak diterapkan, seperti yang diusulkan di 2020 karena faktor ketidakpastian masih tinggi,” tegas Hendra.
Dalam catatan ruangenergi.com,Kementerian ESDM di bawah Direktorat Jenderal Minerba kembali mengajak APBI untuk berdiskusi (10/5) terkait kewajiban pemenuhan batubara dalam negeri (DMO) pasca dikeluarkannya KepMen ESDM No. 255/2020.
Sama dengan tahun sebelumnya, setiap produsen batubara diwajibkan untuk memasok batubara 25% dari produksinya untuk penggunaan batubara dalam negeri (Domestic Market Obligation). Selain itu, perusahaan yang tidak bisa memenuhi kewajiban DMO tersebut akan dikenakan sanksi berupa pembayaran kompensasi