Jakarta, Ruangenergi.com – Rare Earth Elements (REE) atau Unsur Tanah Jarang (UTJ) adalah unsur penting yang digunakan pada berbagai produk yang kita gunakan sehari-hari seperti telepon seluler, hard drive, lensa kamera, microwave, peralatan medis, persenjataan canggih maupun berbagai produk teknologi tinggi lainnya.
REE adalah 17 unsur dalam kerak bumi yang terdiri dari 15 unsur logam lanthanides (La, Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb, Lu) ditambah scandiun dan yitrium.
Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Kementerian ESDM, Iman K Sinulingga, saat dihubungi Ruangenergi.com, (06/06).
“Sebenarnya, walaupun disebut sebagai unsur tanah jarang, unsur-unsur tersebut tidak sepenuhnya langka dan terdapat dalam jumlah cukup banyak dalam kerak bumi. Hanya saja disebut jarang karena unsur-unsur tersebut cukup sulit diperoleh dalam jumlah signifikan sesuai kebutuhan kehidupan modern saat ini,” paparnya.
Ia melanjutkan, karena sifatnya yang unik REE tidak bisa digantikan oleh komponen lainnya dalam menunjang perkembangan teknologi modern.
“Itulah yang menyebabkan REE menjadi mahal harganya. REE ini umumnya dijumpai dalam beberapa mineral seperti monasit, xenotime, dan bastnaesite,” imbuhnya.
Namun, katanya, beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa batubara pun dapat mengandung REE dengan kadar setara dengan kadar REE yang ditemukan pada mineral pembawa REE.
“Batubara terdiri dari komponen organik dan non organik. Keberadaan REE pada batubara berasosiasi dengan komponen non organiknya,” tuturnya.
ia mengatakan, proses pembakaran batubara di PLTU akan menghilangkan komponen organik dan menyisakan komponen non organik. Namun, proses ini dapat mengakibatkan pengkayaan kandungan REE pada abu hasil pembakaran batubara (FABA-fly ash dan bottom ash).
Menurutnya, kadar REE dalam fly ash batubara terbukti dapat meningkat 10 kali lebih besar dibandingkan di dalam batubara itu sendiri. Penelitian pada fly ash dari berbagai batubara peringkat tinggi dunia menunjukkan kadar REE rata rata sebesar 445 ppm, setara dengan REE dalam mineral yang telah diusahakan secara komersial.
“Di Indonesia, penelitian terhadap kandung REE dalam batubara masih sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan terhadap batubara Indonesia pada rentang 2018-2020 menunjukkan bahwa batubara Indonesia dapat memiliki kadar REE hingga sekitar 118 ppm (Tim evalusi potensi REE Badan Geologi). Dengan asumsi kadar REE dalam fly ash 10 kali lipat kadar REE dalam batubara, maka potensi REE dalam FABA diperkirakan mencapai 1000 ppm, jumlah yang cukup menjanjikan untuk diekstrak secara komersial,” bebernya.
Ia menuturkan, Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang signifikan yaitu sebesar 143 milyar ton dengan cadangan sekitar 38 milyar ton (PSDMBP, 2020). Di Indonesia, sekitar 49% pembangkit listrik yang beroperasi saat ini menggunakan batubara sebagai sumber energinya.
Pada tahun 2019, konsumsi batubara pada beberapa PLTU di Indonesia tercatat sekitar 98,9 juta ton, dengan potensi FABA yang dihasilkannya sekitar 10% atau 9,89 juta ton. FABA batubara jika tidak diutilisasi hanya menjadi produk buangan. Disamping itu dengan adanya PP no 22 tahun 2021 yang tidak lagi mengkategorikan FABA batubara khususnya dari PLTU sebagai limbah berbahaya, proses utilisasi FABA menjadi lebih mudah dan berpeluang untuk terus dioptimalkan.
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2018, Badan Geologi melalui Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP) tengah melakukan studi terpadu dari hulu ke hilir terkait potensi REE dalam batubara Indonesia. Studi dilakukan bekerjasama dengan Balitbang KESDM dan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Hasil studi diharapkan dapat mengungkap potensi REE dalam batubara Indonesia tidak hanya dari sisi sumber daya tapi juga dari peluang ekstraksi dan keekonomiannya.
“Proses utilisasi REE dari batubara juga membuka peluang peningkatan nilai tambah batubara dan peningkatan pendapatan negara melalui produksi REE dari batubara Indonesia. Lebih jauh, produksi REE akan juga berarti membuka peluang berdirinya berbagai industri modern di Indonesia yang artinya juga membuka banyak lapangan kerja baru,” tutupnya.