Blok CPP Riau

Pakar: Kenaikan Produksi di Bulan Pertama Bukan Keberhasilan Alih Kelola

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Pakar minyak dan gas (Migas), Ridwan Nyak Baik mengatakan, kenaikan produksi dalam satu bulan pertama alih kelola belum cukup signifikan untuk menilai suatu keberhasilan alih kelola pengelolaan blok migas.

“Kita masih perlu tunggu dalam 3 – 4 bulan ke depan bagaimana faktanya nanti. Terutama di samping jumlah minyak, perlu juga dievaluasi tentang jumlah air yang ikut terproduksi, apakah meningkat juga atau tidak,” kata Ridwan kepada Ruangenergi.com di Jakarta, Jumat (10/9/2021).

Terkait produksi Blok Rokan pasca sebulan pertama alih kelola di tangan PHR yang naik 1000 – 2000an BOPD, menurut Ridwan memang luar biasa. Sebab, biasanya pada fase awal di tangan pengelola baru produksi justru turun karena penyesuaian kesisteman, iklim dan budaya kerja, serta leadership style para manager operasi di lapangan, manajemen logistik dan penunjang operasi lainnya.

“Patut disyukuri, tapi yang jadi pertanyaan apakah hal dimaksud tidak terjadi dalam alih kelola blok Rokan, atau sudah bisa diantisipasi sejak awal, ketika para staff operasi Pertamina terlibat dalam beberapa pengeboran di Blok Rolan, sekitar 2 tahun sebelum serah terima blok dilakukan,” jelas dia.

Menurut Ridwan, hal ini patut dievaluasi, karena dengan sistim demikian berarti kebijakan yang difasilitasi SKK Migas, sgar Pertamina diijinkan masuk lebih awal dalam operasi, khususnya pengeboran disaat kontrak belum berakhir merupakan langkah baik.

“Terutama dalam menjaga keberlanjutan produksi blok migas yang periode kontraknya akan habis, dan tidak diperpanjang lagi,” tukasnya.

Di sisi lain, lanjut dia, fakta meningkatnya produksi sekitar 1000 – 2000an BOPD dalam sebulan pertama, ini sebenarnya harus disikapi hati-hati. Sebab, harus dievaluasi juga bagaimana praktek lapangannya.

“Harus bisa diketahui penambahan produksi itu dari sumur mana saja. Dan bagaimana sejarah produksi sumur-sumur tersebut. Jangan sampai ada sumur yang produksinya digenjot sedemikian rupa, sehingga berdampak pada rusaknya batuan reservoirnya (zona produksi). Karena hal ini bisa dipantau dari jumlah kadar air yang ikut terproduksi juga bertambah atau stabil,” paparnya.

Hal lain yang juga sangat menentukan dalam upaya meningkatkan produksi adalah penambahan sumur baru. Selama sebulan operasi di tangan PHR sudah berhasil dibor 23 sumur baru. Artinya, sekitar 0,75 (kurang dari 1) sumur per hari.

“Padahal dalam kalkulasi 9 Agustus 2021 lalu, setidaknya kecepatan pengeboran harus dikejar sekitar 35 sumur per bulan, atau rata-rata 1 sumur lebih per hari, agar target 161 sumur pada akhir 2021, tercapai. Kita tunggu gebrakan lebih lanjut yang lebih terukur dan signifikan,” tukasnya.

Pria yang puluhan tahun pernah berkarir di Pertamina ini juga meragukan target lifting 2021 yang ditetapkan dalam APBN sebesar 165 ribu BOPD itu bisa tercapai hingga akhir tahun.

“Jika dilihat dari status produksi pada minggu pertama September 2021 yang baru mencapai angka 158 ribu BOPD, tentu saja masih rendah dari target APBN tahun ini yang dipatok pada angka 165 ribu BOPD. Saya rasa ini cukup sulit terealisasi,” pungkasnya.(SF)