Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, meminta masyarakat untuk bijak dalam menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini sekaligus membantu pemerintah dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (RGK) sesuai amanah Paris Agreement dan komitmen Indonesia.
Pasalnya, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan internasional pada 2030.
“Saya kira jika melihat kondisi saat ini seharusnya Premium ini sudah dihapuskan. Jika kita mengacu kepada Peraturan Menteri LHK No. P.20/MENLHK/KUM.1/3/2017, sudah seharusnya kita beralih ke BBM dengan RON minimal 91,” terangnya kepada ruangenergi.com, (28/10).
Menurutnya, BBM jenis Premium juga saat ini konsumsinya sudah jauh menurun jika dibandingkan sebelumnya. Tercatat penyerapan RON 88 baru mencapai 2,34 juta KL atau sekitar 23,5% dari kuota premium tahun ini sebesar 10 juta KL.
“Masyarakat juga sudah beralih ke Pertalite yang meskipun mengacu kepada Permen KLHK tersebut belum memenuhi syarat,” katanya.
Untuk itu, dirinya meminta agar pemerintah menyesuaikan harga BBM jenis Pertalite, agar tidak ada disparitas dengan BBM jenis Pertamax. Bahkan bisa saja BBM Pertalite dihapuskan dan memberikan subsidi ke Pertamax, karena untuk menjalankan komitmen Indonesia mengurangi emisi karbon.
“Pertalite harganya malah disesuaikan dengan harga keekonomian karena akan mendorong migrasi ke Pertamax dimana disparitas harganya tidak terlalu jauh. Bahkan seharusnya Pertalite juga dihapuskan dan pemerintah bisa memberikan subsidi ke Pertamax karena dengan menggunakan BBM ron tinggi kita sudah membantu pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,” tegasnya.
“Itu jika kita bicara ideal ya. Tapi jika bicara kondisi masyarakat, saya kira kondisi saat ini masyarakat masih butuh Premium juga terutama untuk wilayah yang masuk dalam katagori 3T dan juga sesuai dengan program BBM Satu Harga,” sambung Mamit.
Menurut Mamit, sudah seharusnya konsumsinya (Premium & Pertalite) perlu dibatasi, sehingga tidak terlalu memberatkan keuangan negara karena harus memberikan dana kompensasi ke Pertamina.
“Pengawasan dan pengaturan saya kira menjadi kunci dalam penyaluran Premium. Jikapun akan dihapuskan, saya melihatnya Jawa dan Bali yang paling siap untuk itu,” tandasnya.