Presiden Direktur GSI Ginanjar Sofyan: Rice LNG Adalah Salah Satu Inisiatif Kami Dalam Pergerakan Green & Transition Energy Indonesia

Jakarta,ruangenergi.com-Berbicara tentang energi Indonesia, dengan segala kompleksitas dan ketidakpastian-nya selalu menarik dan mengasyikan untuk didiskusikan. Indonesia pernah mengalami masa jayanya dengan limpahan minyak dan gas bumi berupa LNG sehingga pernah menjadi anggota penting OPEC dan pernah menyandang sebagai exporter LNG terbesar di dunia. Kemudian, Indonesia masuk ke era kampanye renewable energy namun terkesan masih dalam tataran eforia dan utopia negeri tanpa realisasi.

Apa yang terjadi sebenarnya sekarang ini? Ikuti bincang langsung dan santai antara ruangenergi.com dengan Ginanjar Sofyan. Pendiri Subholding Pertamina bernama Pertamina Power Indonesia (PPI) dan GSI, Kamis (22/09/2022) di Jakarta.

Ruangenergi: Kenapa Rice-LNG? Apa itu?

Ginanjar: Ya itu, LNG yang bahan bakunya dari jerami padi. Biar gampang dan akrab, kita sebut saja Rice-LNG. Ini merupakan salah satu aspirasi kami tentang green energy dan circular economi.

Ruangenergi: Apa yang membawa anda ke inisiatif ini?

Ginanjar: Semua bicara tentang ketahanan energi nasional padahal kita sudah net importer minyak. Kita punya cadangan gas besar, tapi gak termonetasi secara optimal juga. Kita sibuk bicara renewable energy, tapi random dan saya tidak melihat secara signifikan mampu memperbaiki energy-mix Indonesia. Anda check aja, mudah-mudahan saya salah.

Ribut dan ribet terus kan? Ya udah, GSI ambil inisiatif dan ajak para mitra-nya yang memang punya kepedulian.

Ruangenergi: Pernah gagal?

Ginanjar: Sering…haha. I don’t give any d*mn, we’ll keep moving and flying.

Ruangenergi: GSI rupanya punya mitra-mitra baik yang mau mengembangkan green dan renewable energy? Bagaimana mereka sampai mau berkolaborasi dengan GSI.

Ginanjar: Gak mudah. Ada satu dua perusahaan besar bilang bahwa mereka hanya bisa kerjasama dengan big and reputable local company?

Ruangenergi: Anda kecewa? Bagaimana anda menyikapi hal itu?

Ginanjar: Not surprising lah. Mereka lebih suka branding dan label sesama perusahan besar, bukan ke idea and achievement. Mereka lupa, dibalik sukses perusahan-perusahaan besar adalah orang-orangnya.

Tapi ada juga beberapa perusahaan menengah dan bahkan besar yang cukup santun melakukan approach ke kita. Pada akhirnya kita menemukan club-nya sendiri.

Ruangenergi: Anda yakin Rice-LNG bakal memberikan sumbangan signifikan terhadap bauran energi Indonesia?

Ginanjar: Ada 8 Cluster proyek Rice-LNG yang akan kita kembangkan. Empat Cluster merupakan prioritas utama. Di satu Cluster saja produksi jerami-nya mencapai 5.1 juta ton per tahun. Kalau kita ambil 35%-nya saja, maka akan mampu memproduksi minimal 35mmscfd. Ada hitung sendiri kalau 8 cluster itu jadi semua.

Ada sumber Bio-LNG lainnya. Saya belum bisa sebut. Ada 8 cluster juga yang sedang kami petakan, 5 ada di lokasi yang sangat ideal. So, kita punya 16 cluster hanya untuk di 2 model bisnis tersebut. Kita juga kembangkan model-model lain.

Apakah akumulasi kapasitas kedua model proyek tadi cukup signifikan merubah komposisi bauran energi kita, bukan itu point-nya. Tapi once proyek itu jadi dan masuk ke market, maka akan terbentuk model business baru dan menjadi driver untuk proyek-proyek berikut dan model-model bisnis green energy lainnya. Market jadi mature kan.

Ruangenergi: Anda sangat optimis, padahal banyak proyek-proyek renewable energy di Indonesia yang gagal.

Ginanjar:Ada 4 kesalahan dan dosa alam bawah sadar yang sering kita lakukan dan harus kita koreksi:

Satu: Proyek-proyek renewable kita sering mengandalkan perusahaan-perusahaan besar sebagai offtaker, contoh paling konkrit kita mengandalkan PLN. Semua proyek di-orientasikan ke listrik. Itu fatal, karena kita membangun proyek dengan target single offtaker yang merupakan pemegang “monopoli” bisnis listrik Indonesia dan mengandakan subsidi konvensional, Lewat lah tuh proyek. Non of my future projects is related to PLN electricity.

Kedua: Perusahaan-perusahaan besar hanya mau kolaborasi dengan sesama perusahaan besar. Bisa bayangkan? Saya pernah kerja di perusahan besar yang KPI-nya di-dominasi oleh MoU, banyak sih target MoU-nya, ada 6 kalo gak salah, tetep aja MoU, dan itu di level corporat. MoU is not even a starting point.

Mentalitas perusahaan-perusahan besar beda dengan perusahaan-perusahaan pioneer atau entepreneur. Bagi bereka, jadi gak jadi itu proyek, gajian tetap jalan, bahkan dapat bonus besar dan terus naik jabatan.

Anda tidak bisa mengandakan proyek-proyek pioneer ke orang-orang yang sudah ada di daerah aman dan nyaman (comfort-zone). Anda cukup playing sibuk dan stress aja, aman. Bikin proyek renewable kecil saja butuh 5 tahun. Proyek besar dan matang yang tinggal pijit tombol saja sudah delay 9 bulan bahkan bakal delay 1 – 2 tahun. Jadi, kembali ke yang Pertama.

Ketiga: Perusahaan-perusahan besar atau established biasanya nunggu barang jadi, baru mereka masuk di tengah jalan. Itupun dengan proses due diligent yang njlimet. Jadi kita memang harus kreatif sendiri.

Keempat: Pemerintah, sadar atau tidak sadar sering menjadi blcoker ketimbang jadi enabler. Ada 2-3 point penting yang Pemerintah suka abai di area ini: Kebijakan dan “insentif” investasi dan fleksibilitas market.

Jangan salah faham, kita tidak meminta sumbangan dana dan investasi dll. Biarkan mekanisme pasar berjalan. Termasuk didalamnya adalah kebijakan Carbon Credit. Green atau renewable energy harus murni dilepas ke mekanisme pasar dan borderless, kecuali kalau Pemerintah mau memberikan insentif fiscal ataupun investasi dan memberikan subsidi di market-nya. Intinya kita jangan disandera.

Ruangenergi:Mekanisme pasar itu termasuk diijinkan untuk export?

Ginanjar: Ya. Ada beberapa potential offtaker yang sudah approach kita. Salah satu “diskusinya” adalah export. Offtaker kita bukan hanya produk Rice-LNG nya, tapi juga carbon credit. Nah, ini jangan sampai kita di blokade dengan alasan sentimen domestik atau nasionalisme sempit.

Ruangenergi: Anda khawatir tidak diperbolehkan export.

Ginanjar: Ya, jangan setelah ditengah jalan kita dijegal dengan regulasi atau kewajiban yang contra-productive.

Gini:
Satu: Rice-LNG itu bakal menambah insentif ke Petani karena jerami yang selama ini tidak ada nilai-nya atau rendah pemanfaatannya kita beli, long term 15-20thn.

Dua: Multiplier effect dari pemanfaatan jerami itu juga masuk ke sektor tranportasi dan lapangan kerja padat karya lainnya.

Jadi, paling tidak, satu proyek Rice-LNG ini akan meningkatkan 3 komponen ekonomi daerah dan tentunya nasional di sektor hilir. Terus di sektor hilir kita ter-blokade. Stagnant donk ekonomi kita.

Ruangenergi: Bagaimana dengan teknologi?

Ginanjar: The Triangle of Green Energy Development adalah Feedstock, Technology dan Market. Di model bisnis ini, teknologi justru yang paling aman, accessible and controllable. GSI kebetulan punya akses “exclusive” ke teknologi model bisnis ini.

Ruangenergi: Anda lebih concern dengan feedstock?

Ginanjar: Ya, sustainability selama project lifetime. Makanya yang kita lakukan adalah securing feedstock anchor dan feedstock supply portfolio.

Ruangenergi: LNG-Plant akan dibangun dimana?

Ginanjar: Kita setup 2+2 scenario. Dua di Jawa Barat, 2 di Jawa Tengah. Dan terus bergulir ke cluster-cluster berikutnya.

Ruangenergi: Bagaimana soal first cargo dan harga LNG?

Ginanjar: First cargo dari sekam padi ini diperkirakan di periode July-Agustus-September 2024 mendatang. Namun kita belum bisa buka soal harga Rice-LNG ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *