Jakarta, ruangenergi.com – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menjadi salah satu narasumber dalam acara Webinar Lingkungan yang berjudul Menagih Kontribusi Swasta & BUMN di Masa Transisi Menuju Zero Carbon Emmision 2060 yang diselenggarakan oleh Warta Ekonomi melalui konferensi video. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif sebagai Keynote Speaker, hadir Cita Dewi selaku EVP Perencanaan & Enjiniring EBT PT PLN, Hery Haerudin selaku VP Pertamina Energy Institute, Dharma Djojonegoro selaku Direktur Utama Adaro Power serta M. Ahsin Sidqi selaku Direktur Utama PT Indonesia Power.
Dalam pembukaan, Arifin Tasrif menyampaikan untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri, pemerintah terus mendorong upaya peningkatan lifting migas yang ditargetkan 1 juta oil barrel per day dan gas bumi sebesar 12 billion standard cubic feet per day (BSCFD) tahun 2030. Indonesia menerapkan strategi optimalisasi produksi lapangan eksisting, transformasi resources to production, mempercepat chemical enhanced oil recovery dan eksplorasi secara massif untuk penemuan penemuan besar serta memberikan kemudahan investasi berikut insentifnya.
Kementerian ESDM telah menyusun Peta Jalan Transisi Energi Menuju Karbon Netral untuk tahun 2060 atau bahkan bisa lebih cepat dengan dukungan internasional, melalui strategi utama pengembangan EBT secara masif, dengan tidak lagi menambahkan pembangkit fosil baru kecuali yang telah berkontrak atau sedang berkonstruksi.
Badan usaha migas memberikan peran aktif dalam pengembangan EBT, energi efisiensi dan pemanfaatan flare gas, green refinery dan pemanfaatan CCUS. Begitu juga Badan usaha mineral dan batubara melalui reklamasi lahan bekas tambang untuk kebun energi dan PLTS dan pembangkit EBT untuk supply listrik smelter, sedangkan badan usaha ketenagalistrikan melalui pemanfaatan clean coal technology, penerapan cofiring, pengembangan pembangkit EBT dan konfersi PLTD ke pembangkit EBT, badan usaha industri melalui industri PLTS atap, pemanfatan pembangkit EBT, dan pemanfaatan CCS.
Sinergi dan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha merupakan salah satu kunci keberhasilan transisi energi, melalui ide-ide yang inovatif dalam mempercepat proses transisi energi di Indonesia.
Dalam kesempatannya, Satya menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim, pada COP-26 di Glasgow dengan menekankan adanya pembiayaan iklim atau climate finance dalam pendanaan negara maju sebagai game changers. Indonesia tidak bisa berdiri sendiri di dalam pencapaian komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Perlu pendanaan negara maju melalui dukungan internasional sehingga mencapai pengurangan emisi 41% dari Business as Usual (BaU).
Lebih lanjut, Satya menjelaskan sumber emisi di sektor energi dan di industri mulai dari pembakaran bahan bakar baik yang ada di industri untuk pemanasan mesin dan juga industri manufaktur, sumber emisi di sektor transportasi berupa produksi CO2 yang harus dikurangi dari waktu ke waktu sesuai dengan NDC Indonesia sebagai komitmen internasional. Sektor-sektor tersebut harus memproyeksikan pengurangan emisi paling tidak pada tahun 2030. Pada tahun 2021, Indonesia mentargetkan 67 juta ton CO2 untuk pengurangan emisi di sektor energi dengan realisasi 69,5 juta ton dan hingga tahun 2030 sebesar 314 juta ton serta dengan bantuan internasional akan mencapai 446 juta ton.
Satya yang merupakan lulusan Cranfield University UK ini menambahkan emisi puncak akan terjadi di 2035, dengan dukungan program PLN dan juga dari sektor yang lainnya. DEN dengan Bappenas memperkirakan ada dua sektor yang nanti akan berkontribusi besar di dalam pencapaian emisi puncak yaitu manufacturing dan jasa-jasa.
Potensi EBT besar namun bersifat intermitten, keterbatasan jaringan, rendahnya ketertarikan perbankan berinvestasi di bidang EBT, EBT tidak dapat ditransportasikan kecuali sudah menjadi listrik, kemampuan industri dalam negeri terbatas, ketidakpastiaan pasar dan juga konsumsi energi turun, adanya biaya investasi awal dan juga bunga bank yang tinggi, tetapi semua tantangan ini akan diidentifikasi untuk dicarikan solusi. Begitu juga adanya tantangan dekarbonisasi dalam target KEN masih sulit terwujud, pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5% setiap tahunnya, kontribusi energi baru perlu dipertimbangkan. Lalu Indonesia masih sangat tergantung pada batubara yang tidak sejalan dengan target penurunan emisi GRK, proses transformsi energi dan teknologi energi bersih masih mahal untuk memfasilitasi negara berkembang.
Diakhir, Satya menyampaikan Pemerintah perlu mengembangkan Industri baterai nasional dan menentukan jenis baterai yang akan dikembangkan serta menciptakan captive market berupa pembatasan produsen baterai asing dan memberikan insentif bagi industri manufaktur kendaraan listrik berbaterai dalam negeri.
Citra Dewi menjelaskan bagaimana strategi PLN dalam transisi energi menuju karbon netral di tahun 2060. Inventarisasi GRK sebagai baseline untuk mencapai target karbol netral, juga berupaya meningkatkan efisiensi pembangkit listrik dan uji coba perdagangan emisi dan manfaat insentif dari carbon credit dan renewable energy certificate. Intinya PLN melakukan pengembangan EBT sebagai program pemerintah dan tanggung jawab PLN untuk generasi mendatang.
Sementara itu Ahsin Sidqi menyampaikan strategi PT Indonesia Power (IP) yang merupakan anak perusahaan PLN berkomitmen mengembangkan bauran EBT 23% seperti RUPTL terbaru 2021 lebih dominan pengembangan EBT sampai 56%, program karbon netral (CZN) pembangkit listrik pada 2060 tidak ada lagi fossil base, program transformasi dan transisi energi melalui Inovasi dan Green Booster dengan program dediselisasi semua wilayah berbasis energi, cofiring, substitusi batubara dengan biomass. Pada event G20 juga menyiapkan beberapa show case program EBT untuk menunjukan komitmen Pemerintah RI pada dunia.