PUSKEPI Sebut Pertalite90 Telan Subsidi Terlalu Besar, Sebaiknya Dihapus Saja

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Melonjaknya harga minyak mentah dunia akibat berkurangnya suplai global, terutama dari Libya dan Ekuador, serta terbatasnya kemampuan produksi OPEC+ berdampak terhadap harga keekonomian bahan bakar minyak di Indonesia.

Pasalnya, kondisi ini membuat harga keekonomian juga meningkat tajam. Bedasarkan formulasi perhitungan yang dilakukan pada Juli 2022, harga keekonomian BBM bersubsidi Pertalite berada pada angka Rp 17.200 per liter. Namun Pertamina menjualnya dengan harga Rp 7.650 per liter. Akibatnya, setiap liter Pertalite yang dibeli oleh masyarakat mendapatkan subsidi Rp 9.550 per liter dari pemerintah.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI), Sofyano Zakaria mengatakan subsidi yang dikeluarkan ini terlalu besar, sehingga akan sangat membebani Pemerintah.

“Akan lebih baik jika Pemerintah menghapus saja produk Pertelite90 dan menggantinya dengan Pertamax92 bersubsidi. Karena jika Pertamax92 disubsidi, karena subsidinya tidak akan sebesar subsidi terhadap Pertalite,” kata Sofyano Zakaria dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (09/7/2022).

Menurut pengamat energi ini, harga keekonomian Pertalite RON 90 saat ini Rp 17.200/liter, sedangkan harga jual ecerannya hanya Rp 7.650/liter. Akibatnya Pemerintah harus membayar subsidi sebesar Rp 9.550/liter Pertalite.

“Padahal, jika Pertalite dihapus dan diganti dengan Pertamax92 maka beban subsidi yang harus ditanggung Pemerintah hanya sebesar Rp 5.400 per liter. Angka tersebut didapat dari selisih harga keekonomian Pertamax RON 92 sebesar Rp 17.900/liter, dengan harga jual eceran Pertamax92 Non Subsidi saat ini sebesar Rp 12.500/liter,” papar Sofyano.

Lebih jauh ia mengatakan, bahwa jika Pemerintah mengalihkan subsidinya ke Pertamax RON 92, maka Negara hanya mensubsidi sebesar Rp 5.400/liter,
sementara subsidi untuk Pertalite mencapai Rp 9.550/liter.

“Tentu saja jumlah yang akan dikeluarkan Pemerintah untuk mensubsidi Pertalite  sangat besar atau hampir dua kali lipat jika subsidi tersebut dialihkan ke Pertamax92,” ujarnya.

Pemerintah, lanjut dia, juga bisa menurunkan harga jual Pertamax 92 misalnya menjadi Rp 11.500/liter dan ini berarti Pemerintah hanya mensubsidi sebesar Rp 6.400/liter yang tentu saja masih jauh lebih hemat ketimbang Pemerintah Mensubsidi Pertalite saat ini yang sebesar Rp 9.550/liter.

“Yang tak kalah penting dari penghapusan Pertalite90 dan menggantinya dengan mensubsidi Pertamax92 adalah bahwa dari segi kualitas dan untuk lingkungan, BBM Pertamax92 jelas lebih baik dari Pertalite90,” tukasnya.

Masih menurut Sofyano, jika negara mensubsidi Pertamax92 dan pemakaian Pertamax (kuota per tahun) adalah sebesar 23 juta KL, atau sama dengan kuota Pertalite untuk tahun 2022, Maka secara nominal subsidi Pertamax adalah sekitar Rp 124 triliun, sedangkan subsidi Pertalite untuk kuota sebanyak 23 juta KL adalah Rp 219,65 triliun.

“Ini belum termasuk jika nanti terjadi kebocoran (jebol) yang bisa mencapai 3.7 juta KL karena diperkirakan Pertalite akan jebol menjadi sekitar 26,7 juta KL,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga perlu merevisi aturan pengawasan pengendalian kuota BBM subsidi/kompensasi tahun 2022, karena tanpa itu maka Pemerintah akan sulit menghindar dari kebocoran atas kuota yang telah ditetapkan.

“Yang menjadi pertanyaan, jika terjadi kebocoran atau sampai kuota yang ditetapkan jebol, maka pihak-pihak mana saja yang diuntungkan? Ini perlu diantisipasi pemerintah dengan memperketat pengawasan,” pungkasnya.(SF)