Jakarta,ruangenergi.com– Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana mengatakan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) memang kombinasi antara pinjaman, dana investasi swasta dan hibah.
Untuk pinjaman, pemerintah akan memastikan bahwa syarat-syaratnya lebih menarik seperti bunga murah, grace periode cukup,dan lain sebagainya.
“Kalau lebih mahal dari bunga komersial, ya tidak perlu pinjamannya melalui JETP,” kata Dadan dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com, Kamis (16/02/2023) di Jakarta.
Dadan menambahkan, bahwa ini kan investasi, pasti perlu dana, dan ini pendanaan yang lebih baik.
Informasi yang diterima ruangenergi.com,Presiden Joko Widodo bersama Presiden Amerika Serikat Joe Biden beserta para pemimpin negara International Partners Group (IPG) meluncurkan perjanjian internasional JETP pada rangkaian acara KTT G20 di Bali tanggal 15 November 2022. IPG dipimpin Amerika Serikat dan Jepang beranggotakan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia dan Inggris.
Perjanjian internasional dituangkan dalam joint statement yang bersifat tidak mengikat. Implementasi JETP dengan nilai pendanaan sebesar 20 milyar USD atau setara dengan 300 triliun rupiah berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah diharapkan dapat mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dengan
target yaitu: Peaking emisi sektor ketenagalistrikan diproyeksikan terjadi pada
tahun 2030, lebih cepat dari proyeksi awal; Emisi sektor ketenagalistrikan tidak melebihi 290 juta ton CO2 di tahun 2030, lebih rendah 67 juta ton CO2 dibandingkan nilai baseline BaU sebesar 357 juta ton CO2; Net zero emissions sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050, lebih cepat 10 tahun dari proyeksi awal; Mempercepat pemanfaatan energi terbarukan setidaknya 34%
bersumber dari energi terbarukan pada 2030.
Selain itu, kerjasama JETP juga akan mengidentifikasi captive power yang ada di Indonesia untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan dan penerapan efisiensi energi khususnya di kawasan industri. Para pihak akan menyiapkan rencana investasi, pembiayaan, dan bantuan teknis yang dituangkan dalam Comprehensive Investment Plan (CIP) dalam jangka waktu 6 bulan sejak disepakatinya JETP. Mobilisasi dana selama periode tiga sampai lima tahun akan dilakukan melalui Indonesia Country Platform sebagai mekanisme pembiayaan early retirement PLTU dan pembangunan pembangkit energi terbarukan
PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) selaku manager pendanaan yang akan bermitra dengan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) yang terdiri dari Bank of America, Citi Bank, Deutsche Bank, HSBC, Macquaire, MUFG dan Standard Chartered serta bank pembangunan multilateral lainnya.
Penunjukan PT. SMI selaku country platform manager telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 275 Tahun 2022. KESDM sedang dalam proses penyusunan peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional (early retirement) PLTU sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Peta jalan ini akan mencakup daftar pembangkit listrik yang akan dipensiunkan dengan diganti pembangkit yang lebih andal, ekonomis, serta bersih dan akan digunakan untuk menyusun Comprehensive Investment Plan (CIP) sebagaimana diamanatkan dalam output dan
timeline JETP. Koordinasi antar pemangku kepentingan terus dilakukan untuk
mengusulkan transaksi pilot project early retirement di bawah payung JETP untuk membuktikan keberlangsungan mekanisme pasar.
Koordinasi ini melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, PT PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan – CIF-ACT, dan lainnya.
JETP akan membentuk dan meluncurkan sekretariat yang berperan sebagai pusat informasi, perencanaan dan koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan proyek-proyek JETP
sebagaimana diinstruksikan oleh tim taskforce bentukan Pemerintah Indonesia dan IPG.
Peneliti dan Program Manager Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan bahwa pemerintah perlu mewaspadai bunga pinjaman dari skema utang yang ditawarkan dalam pendanaan transisi energi melalui skema kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar atau Rp310 triliun yang diberikan AS dan Jepang, beberapa negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa. Hal ini karena dana JETP yang diterima Afrika Selatan yang disepakati pada COP26 Glasgow, Skotlandia didominasi oleh utang atau pinjaman lunak dan komersial dengan porsi hibah kurang dari 3%.
Oleh sebab itu, antisipasi perlu dilakukan agar tidak menimbulkan beban negara di kemudian hari. Antisipasi dapat dilakukan dengan memastikan pendanaan memiliki porsi hibah atau pembiayaan lunak yang cukup ketimbang pembiayaan komersial yang mengikuti tingkat bunga di pasar. Adapun pendanaan iklim sebesar US$20 miliar tersebut akan disalurkan lewat dua pihak, US$10 miliar lewat dana publik negara pendonor dan US$10 miliar lewat lembaga keuangan dunia yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group. Dalam GFANZ, tergabung sejumlah perbankan global seperti Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.