Direktur Energy Watch, Mamit Setiawan

Aksi Korporasi Pertamina Menaikan Harga Jenis Bahan Bakar Umum Ditanggapi Positif oleh Energy Watch

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta,ruangenergi.com-Aksi korporasi PT Pertamina (Persero) menaikan harga jenis bahan bakar umum (JBU) dan LPG non subsidi (LPG Bright) dinilai masih tetap mengacu kepada peraturan pemerintah.

Aksi tersebut mendapat tanggapan positif dari Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan. Menurut dia, pertama, karena ini merupakan produk umum, Jadi,kenaikan ini merupakan aksi korporasi Pertamina dengan tetap mengacu kepada peraturan pemerintah terkait dengan formula harga bbm umum dalam Kepmen ESDM Nomor 62/2020 dan formula harga LPG sesuai dengan kenaikan CP Aramco.

Selain itu,jika mengacu kepada Perpres 69/2021 pasal 14A ayat 1 yang berbunyi “Harga jual eceran Jenis BBM Umum di titik serah untuk setiap liter, dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor” maka kenaikan ini tidak salah.

“Pertama,saya menghitung,bahwa kenaikan harga produk pertamina ini masih di bawah keekonomiannya. Jadi masih ada selisih yang harus ditanggung oleh pertamina. Untuk migrasi saya kira sangat kecil ya. Berdasarkan data saat ini pengguna pertamax turbo hanya 0,5%, dexlite dan pertamina dex 5% dari total konsumsi bbm secara nasional. Untuk LPG NPSO sendiri konsumsi hanya 6% saja, jadi 94% masih menggunakan LPG 3 kg subsidi. Karenanya kenaikan ini tidak ada berdampak signifikan terhadap inflasi dan juga migrasi. Apalagi pengguna produk ini segmented kelas menengah ke atas,”kata Mamit kepada ruangenergi.com,Senin (11/07/2022) di Jakarta.

Mamit meminta perlu terus dilakukan sosialisasi mengenai subsidi tepat sasaran. Memberikan penjelasan bahwa penerima subsidi hanya untuk masyarskat yang tidak mampu.

“Kedua,program pembatasan bbm subsidi seperti saat ini harus diteruskan dan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.Ketiga,reformasi subsidi dari berbasis barang ke berbasis orang harus disegerakan.
Penyesuaian ini dipastikan sudah tepat karena ICP kita di Juni mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Begitu juga dengan kenaikan CP Aramco.

Mamit membenarkan bahwa harga minyak dunia tembus di atas USD 110-120. Menurut dia, BBM umum alias BBM Non Subsidi mengikuti aturan Kepmen ESDM No. 62 Tahun 2020.

”Di situ memang diatur kapan harga perlu dievaluasi, terhadap harga keekonomian minyak mentah dunia, kurs Rupiah, dan lain-lain. Kalau pajak, PPN, dan semacamnya itu tetap,” ujar Mamit, kemarin.

Mamit menambahkan bahwa memang selain faktor harga minyak mentah dunia yang sedang meningkat, nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap dollar ikut disebut jadi alasan kuat harga BBM Non Subsidi harus naik. ”Karena harga minyak dunia ini memang mengambil porsi paling besar dalam penentuan harga BBM dan kurs Rupiah yang melemah akan meningkatkan biaya pokok produksi,” tambahnya.

Bahkan Mamit menilai bahwa kenaikan harga yang ditetapkan Pertamina untuk tiga BBM Non Subdisi tersebut nilainya masih di bawah nilai keekonomian yang seharusnya.

”Bisa dibandingkan dengan SPBU swasta yang menjual BBM jenis yang sama dengan harga yang lebih tinggi. Jadi memang harganya menyesuaikan harga minyak mentah dunia,” urainya.

Pertamina,lanjut Mamit, cenderung menahan kenaikan harga sedikit lebih rendah dari yang seharusnya karena dua alasan utama. Pertama, adalah menjaga daya beli masyarakat tak terkecuali masyarakat pengguna BBM ron tinggi.

”Kemudian yang kedua yang terpenting adalah menghindari migrasi besar-besaran dari pengguna BBM ron tinggi ke jenis BBM yang lebih rendah. Disparitas harga yang terlalu tinggi bisa memicu migrasi tersebut,” pungkasnya