Jakarta, Ruangenergi.com – Transisi energi berkeadilan sudah menjadi isu utama di Indonesia, berkaitan dengan isu-isu perbaikan iklim maupun upaya-upaya untuk mendorong percepatan transisi dari energi fosil menuju energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Meskipun demikian, menurut Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho, transisi energi menuju energi bersih, pada akhirnya juga tetap saja membutuhkan bahan-bahan yang diekstraksi dari mineral, khususnya nikel, kobalt, bauksit, maupun yang lainnya.
“Indonesia telah menyelesaikan Presidensi G20 yang dinilai cukup sukses terutama untuk beberapa agenda G20. Misalnya keputusan untuk memensiunkan dini pembangkit listrik renaga uap (PLTU) batu bara,” kata dia dalam Diskusi Media dan Catatan Akhir Tahun yang dipantau secara virtual di Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Selain itu ada juga kesepakatan atas pembiayaan dengan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai Rp310 triliun yang diberikan dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak selama periode 3-5 tahun oleh Amerika Serikat, Jepang, sejumlah negara G7, dan negara mitra Uni Eropa kepada Indonesia
“Hanya saja, kemudian pertanyaannya adalah apakah transisi energi cukup adil juga untuk daerah-daerah seperti Indonesia yang memiliki sumber daya nikel yang luar biasa?” Tanya Aryanto.
Lebih jauh dia menerangkan tentang hasil deklarasi dalam G20 Chair Summary Energy Transitions Ministers Meeting pada 2 September 2022 yang berkomitmen untuk mencari solusi terkait ketahanan energi, termasuk di dalamnya memperkuat supply chain critical minerals (bahan mineral kritis).
“Negara anggota G20 sudah sepakat bahwa supply chain critical minerals harus diamankan untuk mendorong energi bersih karena dunia membutuhkan sumber daya mineral tersebut,” katanya.
“Bahkan, diketahui jika Indonesia sedang berupaya memproduksi mobil listrik sekaligus memberikan subsidi kepada para pembeli mobil listrik sehingga pada akhirnya supply chain critical minerals sangat penting untuk didiskusikan,” sambungnya.
Namun demikian, kata dia, ada catatan menarik bahwa selain berbicara memperkuat supply chain dari critical minerals, juga harus mempromosikan inclusive investment untuk dorong pertumbuhan permintaan energi, termasuk inline dengan sustainable development dan climate goals.
“Artinya, ekstraksi sumber daya nikel atau mineral yang menjadi bagian dari critical minerals tak boleh berseberangan dengan tujuan climate goals,” ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, pertemuan pada 2 September 2022 menyepakati pula dokumen Bali Energy Transitions Roadmap yang bertujuan mendorong perusahaan-perusahaan smelter mengadopsi prinsip-prinsip ESG (environmental, social, and governance) dalam melakukan ekstraksi critical minerals.
“Jangan sampai kemudian justru karena kebutuhan baterai, kebutuhan mobil listrik, kita melakukan ekstraksi yang luar biasa sehingga akhirnya berseberangan dengan tujuan climate goals itu sendiri. Investasinya juga tidak green, dan dalam pelaksanaan operasinya jauh dari prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan,” tutup Aryanto.(Red)