Jakarta, Ruangenergi.com – PT Adaro Energy Indonesia Tbk dinilai arogan dan tidak mematuhi kontrak kerja yang dijalin perseroan dengan PT Intan Sarana Teknik (IST) terkait pengelolaan limbah tambangnya dengan menggunakan teknologi Geotube Dewatering (GD).
Pengamat Energi dari Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyayangkan sikap arogansi dari manajemen Adaro yang mengkriminalisasi mitra kerjanya yang notabene telah memberikan keuntungan bahkan berbagai penghargaan dari pemerintah dan lembaga internasional. Parahnya lagi buntut dari perselisihan internal tersebut Adaro melakukan pembekuan rekening IST dan menahan asetnya senilai Rp 30 miliar.
Menurut Marwan, dalam kontrak yang ditandatangani pada 2016 lalu antara perseroan dengan IST, Adaro sepakat menggunakan teknologi GD tersebut karena terbukti efektif dan berhasil setalah dilakukan ujicoba terlebih dahulu sebanyak dua kali pada tahun 2014 dan 2015.
“Padahal dengan menggunakan teknologi ini, Adaro mendapat pengakuan baik nasional maupun internasional terkiat pengelolaan limbah tambang yang ramah lingkungan,” kata Marwan di Jakarta, Jumat (10/2/2023).
“Teknologi GD ini adalah teknik pelepasan air dari lumpur yang dimasukkan ke dalam kantong geotube yang terbuat dari bahan tekstil khusus dan berpori-pori sehingga air bisa kembali ke alam,” sambungnya.
Namun dalam perjalanan kontrak yang berakhir tahun 2020, lanjut Marwan, Adaro melakukan kriminalisasi terhadap IST dan juga pendiri perusahaan yaitu Ibnu Rusyd Elwahby (IRE). IRE digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada pertengahan 2021 dan sempat mendekam di penjara Polri selama enam bulan. Gugatan Adaro terhadap IST berasal dari perselisihan internal dan sarat rekayasa.
“Ada sesuatu dibalik ini yang membuat Adaro melakukan gugatan. Padahal di sidang sebelumnya para hakim memutuskan bahwa kasus tersebut menyatakan bahwa kasus ini adalah ramag perdata bukan pidana dan menyarankan untuk bersamai secara kekeluargaan,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Marwan, Adaro tidak membayar sisa tagihan yang seharusnya masuk dalam rekening IST. Mirisnya lagi Adaro hingga kini masih menggunakan teknologi GD tersebut dalam proses bisnisnya. Ditengarai sikap arogansi Adaro tersebut karena adanya kepentingan tertentu seperti keinginan menggantikan kerjasama IST dengan perusahaan lain.
“Kita minta Adaro mengakui salah, tunggu itikad baik itu, jangan sampai rakyat marah dulu baru kalian bilang ke publik. Jangan kalian mentang – mentang dekat dengan penguasa di rezim ini lalu berbuat seenaknya,” lanjut Marwan.
IRESS juga meyakini bahwa kisruh yang terjadi merupakan sengketa perdata yang telah dipaksakan masuk ranah pidana. Hal ini pun sempat dilontarkan oleh hakim-hakim PN Jaksel, yang pada awal-awal sudah telah mengusulkan kepada para pihak untuk berdamai.
“Penggunaan delik TPPU dengan ancaman pidana maksimal 13 tahun, denda kerugian serta penyitaan aset dalam sengketa bisnis jelas salah kaprah dan akan merusak ekosistem serta iklim usaha yang sehat,” ujarnya.
Menurut Marwan, sejatinya TPPU merupakan kejahatan serius, sistematis dan bersifat publik, yakni yang merugikan negara, masyarakat dan merusak keuangan serta perekonomian negara, tidak untuk digunakan menjerat transaksi bisnis yang legal dan saling menguntungkan.
“Karena itu, dakwaan yang diajukan JPU dan Adaro ini dapat dianggap sebagai fenomena gunung es yang melibatkan APH yang tidak profesional, diragukan integritas dan independensinya, cenderung bertindak sebagai alat pihak pemodal kuat dan dekat oligari kekuasaan, ketimbang menjadi pedang penegak keadilan dan kebenaran,” paparnya.
Pada dasarnya, kata dia, seluruh dakwaan dari hasil penyidikan dan penuntutan telah diperiksa fakta-fakta, peristiwa, bukti dan keterangannya di pengadilan. Putusan hakim PN Jaksel adalah *bebas murni,* karena tidak terbukti adanya penipuan, sementara itu, transaksi para pihak sah sesuai perjanjian dan peraturan yang ada. Dengan demikian secara hukum mestinya tidak ada unsur pelanggaran TPPU-nya.
“Kita menuntut agar MA sebagai benteng terakhir keadilan untuk bersikap mandiri, tidak tunduk kepada oligarki dan kekuasaan oligarkis, bebas intervensi, dan bersih dari praktik-praktik mafia peradilan,” ujarnya.
“MA harus mampu memberikan keadilan baga para korban arogansi kekuasaan dan kesewenang-wenangan, dan sekaligus dapat menjamin kepastian hukum bagi dunia usaha yang jujur dan sehat,” pungkasnya.(Red)